TAJDID.ID || Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir MSi, mengatakan bahwa pelayanan Muhammadiyah kepada umat bukan hanya sekedar retorika, tetapi karya nyata untuk membawa kemajuan bersama.
“Terma moderasi, pluralism, kebhinekaan dan kemajuan diejawantahkan bukan hanya dilisankan,” ujar Haedar saat menerima kunjungan Tenaga Administrasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (5/10).
“Kami menerjemahkan moderasi, pluralisme, kebinekaan dan kemajuan pun dengan berbuat nyata untuk membawa kemajuan bersama. Dan sebenarnya ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia,” imbuh Haedar dilansir dari laman muhammadiyah.or.id.
Lebih lanjut Haedar menjelaskan bahwa, sumber radikalisme yang terjadi bukan hanya bersumber dari agama. Oleh karena itu, Haedar menyarankan supaya dalam memandang persoalan radikalisme harus adil. Sebab dia meyakini bahwa tidak ada satupun agama yang sepakat dengan tindakan-tindakan radikal.
“Contohnya konsep moderasi melawan radikalisasi. Hal tersebut perlu ada persamaan pemahaman terkait arti radikalisme. Sehingga tidak ada lagi kesan bahwa sumber radikalisme dan ekstrimisme itu hanya disebabkan oleh agama, tentu dari semua agama juga tidak bisa menerima hal tersebut,” tegasnya.
Dalam konteks kemajemukan atau kebhinekaan Indonesia, menurutnya merupakan sumber potensi yang harus dirawat, dijaga dan dimanfaatkan dengan baik untuk kemajuan bersama. Sebab perbedaan itu wajar dan menjadi bagian dari Indonesia itu sendiri. Bangsa harus didorong untuk berpikiran maju, menyelesaikan masalah dengan damai, dialog dan cara-cara santun lain.
Terkait dengan relasi agama dan negara, lanjut Haedar, Muhammadiyah memiliki konsep Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Darul ahdi atau negara kesepakatan tidak cukup bila tidak dibarengi dengan al-syahadah atau persaksian, tetapi juga negara sebagai tempat pembuktian untuk terlibat langsung mengatasi berbagai masalah dan ikut serta membangun bangsa Indonesia.
“Makanya jadikan Pancasila ini value berbangsa dan bernegara. Tapi harus ada penerjemahan bersama jangan sampai terlalu utopis, namun juga jangan terlalu teknis,” pungkasnya. (*)