TAJDID.ID~Jakarta || Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mengatakan, pernyataan Wakil Ketua Komisi pemberantasan korupsi (KPK), Alexander Marwata yang menyatakan lembaganya tidak bisa memeriksa kasus Lili Pintauli Siregar adalah sebuah keprihatinan.
“Sikap keengganan ini lebih sebagai upaya ngeles (menampik) dan penghindaran dari tugas tanggungjawabnya. Mestinya jangan sampai menurunkan derajat penegak hukum sebagai alat untuk memberikan keadilan dan biasanya respon begini dilakukan oleh karakter pihak yang gagal,” ujar Azmi melalui keterangan tertulisnya, Ahad (24/7).
Azmi menilai, saat ini KPK menjadi tawanan dalam dirinya sendiri, kualitas penegakan hukum semakin lemah ditengah ketidaktertiban yang dilakukan oleh unit organ KPK sendiri.
“Ironisnya lagi Ketua KPK selalu menyampaikan pada publik, bahwa KPK memastikan memegang prinsip zero tolerance. KPK tidak akan mentolerir penyimpangan dan memastikan akan menindak pelaku korupsi tanpa pandang bulu,” kata Azmi.
Namun pada akhirnya, lanjut Azmi, kualitas KPK dirasakan dan dinilai dari hasil kerjanya. Hasil kerja KPK itulah yang dicermati masyarakat untuk mengatakan bahwa KPK sekarang semakin jinak, budaya kerja ngeles,
menghindari suatu tuntutan atau tanggung jawab yang seharusnya dipenuhi KPK yang membuat keadilan semakin terabaikan.
Azmi menilai, teriakan berani jujur oleh KPK hanya retoris, diantara telah jelas dan nyata terjadi penyelewengan dan kewenangan diselewengkan, penyalahgunaan jabatan, dimana organ KPK mempraktikkan sendiri hal yang dikecamnya.
Bahkan, kata Azmi, kini tanpa tindakan yang tegas terkait perbuatan Lili Pintauli dalam kapasitasnya sebagai insan KPK, apalagi secara khusus sebagai salah satu pimpinan KPK yang semestinya mendapatkan sanksi lebih berat jika mengacu UU 30/2002 tentang KPK, di mana ada penambahan sepertiga hukuman bagi pelaku korupsi yang berasal dari KPK, bukan pula malah menghindar atau berkompromi
“Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak memproses hukum koleganya sendiri, karena KPK juga pernah memproses kasus AKP Suparman pada tahun 2005, dimana bermula adanya upaya dugaan pemerasan yang dilakukan penyidik KPK, Setelah serangkaian penyelidikan, KPK akhirnya menaikkan kasus tahap ke tingkat penyidikan,” ungkap Azmi.
AKP Suparman ditangkap di kediamannya di Bandung dan sidang pengadilan termasuk dalam kasus penyidik KPK Stefanus Robin yang memeras walikota Tanjung Balai, dimana KPK bisa memproses lanjut, tidak ngeles ,malah kini membuat pernyataan yang kesannya simpang siur seperti dalam kasus komisioner Lili Pinta Ulli.
Jadi, kata Azmi, upaya ngeles organ KPK, dan tidak ada standarisasi penanganan proses hukum insan KPK dalam kasus ini akan banyak dampak negatif yang ditimbulkan sekaligus menjadi sebuah tragedi dan menjadi cermin sejarah bangsa dan sejarah hukum akan tertulis bahwa posisi pimpinan KPK termasuk Dewas KPK berada ditepi jurang kehancuran.
“Runtuhnya fungsi etik Dewas, dalam melihat upaya penghindaran tanggungjawab pidana yang dilakukan Lili selaku komisioner KPK, jadi ini sikap yang sangat tidak tepat dari KPK,” tegasnya.
“Hal ini serasa diberikan impunitas oleh KPK, karena impunitas ini dapat mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan lebih besar di masa yang akan datang,” imbunya.
Menurut Azmi, semestinya KPK mengingat tujuan dan cita-cita UU KPK haruslah lebih berani memproses perilaku yang bertentangan dengan hukum, menggali fakta serta rekomendasi tindak lanjut penegakan hukumnya guna mengimbangi upaya penghindaran tanggung jawab yang dilakukan Lili sebagai komisioner KPK.
“Sebab perbuatan yang dilakukan Lili pada saat ia menjabat sebagai komisioner KPK haruslah dipertanggungjawabkan secara hukum,” pungkasnya. (*)