TAJDID.ID~Jakarta || Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra angkat bicara terkait peristiwa jemput paksa Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gagal karena kebocoran informasi.
Menurut Azmi, kebocoran informasi ini menunjukkan patut diduga bahwa korupsi birokrasi yang dilakukan ada pihak- pihak lain yang terlibat, sekaligus menunjukkan kinerja KPK dari sisi internal ada kelemahan, ada yang rembes terkait pengendalian dan kegagalan dalam penjemputan tersangka.
“Ini harus diaudit, jika terbukti ada pihak internal yang membocorkan informasi ,ini termasuk dalam tindakan obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor, pelakunya dikenakan sanksi pidana maksimal 12 tahun penjara,” tegas Azmi, Selasa (19/7/2020).
Lebih lanjut Azmi menilai, kejadian bocornya informasi ini seakan menunjukkan KPK tidak maksimal lagi. Diungkapkannya, dulunya publik mengenal sejarah perlawanan dan geprakan pemberantasan korupsi yang cukup menjanjikan, terutama mencermati sepak terjangnya yang mampu menyeret ke penjara aktor dari berbagai macam latar belakang, khususnya yang memiliki kekuasaan politik yang relatif besar dan kuat.
“Namun saat ini dalam kiprahnya terlihat KPK lebih mudah dijinakkan, hanya menjemput paksa Bupati, kok sudah bocor informasinya?,” kata Azmi.
“Tentunya ini memudarkan harapan publik termasuk dalam kasus Harun Masiku yang hingga kini belum ditangkap dan tidak tuntas,” imbuhnya.
Alumni Fakultas Hukum UMSU ini menyebut masalah kebocoran informasi penangkapan ini terkait pula dengan kelembagaan, kepemimpinan dan pelaksanaan tugas fungsi KPK yang kurang optimal”.
“Kebocoran informasi penangkapan ini menunjukkan blok KPK bukan lagi blok anti korupsi yang kuat, karenanya perlu dievaluasi strategi upaya penangkapan yang lebih di update dengan tehnologi informasi canggih, terutama pola penindakan terhadap pelaku yang selalu licin, ingin lepas dari jerat hukuman,” tutupnya. (*)