Oleh: Moses Ria Turus
Cerpen Kakek Kumara dan Tikus Ladang, karya Novita Devi merupakan cerpen inspiratif dan menarik. Cerpen terbitan tahun 2008 ini menyajikan kisah tentang hidup seorang kakek bernama Kumara. Kakek Kumara adalah seorang petani yang mempunyai ladang berukuran luas, sekitar 2 hektar. Ladang itu ditanami jagung.
Pada suatu hari, kakek Kumara memanen jagung. Akan tetapi, ia sangat kecewa sebab hasil panen yang diperolehnya tidak memuaskan. Apa yang telah terjadi? Ladang jagung milik kakek Kumara diserbu pasukan tikus. Segerombolan tikus datang dengan mengumpat, lalu mencuri jagung-jagung. Melihat itu, kakek Kumara sangat marah. Ia kemudian melempar segerombolan tikus yang sedang asyik memakan jagung dengan batu sambil berkata: “Dasar binatang pengerat! Hidupmu hanya tahu mencuri dan malas untuk bekerja. Kau mencuri jagung-jagungku dan memakannya sampai habis. Awas kau tikus liar, akan kuhabisi kau dengan racun. Biar kau tahu rasa.”
Dari sekilas cerita tentang Kakek Kumara dan Tikus Ladang di atas, kita dapat mengetahui bahwa tikus adalah pencuri yang tidak tahu malu. Ia tidak bekerja, tetapi bisa memperoleh makanan dengan mudah. Lihat saja! Jagung milik kakek Kumara diambilnya dengan seenaknya. Tikus itu tidak kenal kenyang, rakus-rakus bukan kepalang. Otak tikus bukan otak udang. Saat kakek Kumala datang, tikus menghilang. Hal inilah yang membuat kakek Kumara begitu geram melihat tingkah tikus itu. Apa yang dikerjakan selama ini ternyata tidak membuahkan hasil, malah merugikan kakek Kumara.
Namun bagi tikus, mencuri jagung itu seperti sebuah pekerjaan wajib yang harus dilakukan. Ke mana lagi ia harus mencari makanan kalau ia tidak ke ladang jagung milik kakek Kumara? Inilah hidup tikus ladang. Hampir setiap hari mereka mencuri dan mengerat jagung.
Dalam kehidupan dewasa ini, kita sering melihat tikus-tikus itu. Namun, kali ini bukan tikus ladang, melainkan tikus kantor. Siapakah tikus kantor itu? Jenis tikus yang satu ini rupanya lebih berbahaya lagi ketimbang tikus ladang. Tampaknya ia lebih pintar dan lihai dalam mencuri. Barang curiannya bukan jagung, melainkan lembaran uang kertas yang ada di kantor. Kalau tikus ladang biasanya ramai-ramai mencuri, tikus kantor malah lebih senang sendiri. Mengapa sendiri? Mungkin saja ia mau ‘kenyang’ sendiri dengan hasil curian itu dan tidak peduli dengan orang lain, atau ia merasa sungguh tidak bebas kalau mencuri bersama-sama. Tampak ada ketamakan dan egoisme yang tumbuh dalam pribadi tikus kantor ini. Tamak karena ia ingin meraup harta sebanyak-banyaknya dan egois karena ia ingin menikmatinya sendiri.
Tikus kantor tidak lain adalah koruptor. Ia ekuivalen dengan seekor tikus, binatang pengerat yang rajin mencuri, tapi malas bekerja. Ia mendapat uang bukan dari hasil kerjanya, melainkan dari hasil mencuri. Di atas kursi, koruptor duduk berpangku kaki sambil menunggu datangnya uang. Uang adalah santapan lezatnya. Ketika melihat uang, koruptor tak dapat menahan nafsunya untuk segera ‘melahap’. Ia selalu berusaha untuk memperolehnya demi mencapai kenikmatan sepuas-puasnya, meski harus dengan cara yang haram.
Ternyata benar kata Marcuse de Sade, bahwa manusia memiliki tendensi untuk meraih kenikmatan sepuas-puasnya. Menurutnya, sikap korup sebetulnya sudah tertanam di dalam hasrat manusia. Korupsi, bagi de Sade, adalah bentuk konkret dari perburuan kenikmatan tanpa batas yang dilakukan manusia, yang selalu diselubungi kemunafikan penampilan dan pencitraan. Memburu rasa nikmat tanpa batas itu sesungguhnya disebabkan oleh karena rasa kurang dalam diri manusia.
Hal ini dipertegas kembali oleh Savoj Zizek bahwa rasa kurang yang menggerogoti manusia menjadikan manusia bebas dari isolasi diri, teralienasi, dan akhirnya mengikuti dorongan purbanya, yakni dorongan untuk selalu merasa kurang, tanpa pernah terpuaskan. Sifat rasa tidak puas inilah yang merayu orang untuk melakukan tindakan korupsi. Korupsi dalam bahasa Savoj Zizek merupakan sebuah kekosongan jiwa manusia.
Koruptor atau tikus kantor biasanya hidup di kantor-kantor mewah berlantai puluhan hingga ratusan. Kantor yang mewah itu bak ladang, tempat untuk mencuri uang rakyat.
Ada tiga hal yang perlu diketahui bersama yaitu: pertama, tindakan mencuri uang milik rakyat adalah tindakan yang membawa di dalam dirinya kejahatan (intrinsince malum), sehingga itu merupakan keburukan moral. Akibat langsung dari tindakannya, bukan saja merugikan dan meresahkan rakyat, tetapi juga menghilangkan hak rakyat: mendapat kesejahteraan dan kelayakan hidup.
Kedua, koruptor itu sebenarnya miskin. Ia tidak ingin hidup di bawah kemiskinan dan penderitaan atau cemoohan. Keinginannya adalah keluar dari hal-hal itu sehingga tidak heran jika ia mempunyai hasrat yang besar untuk memperkaya diri dan mengejar kenikmatan sepuas-puasnya tanpa mempedulikan masyarakat.
Ketiga, kemungkinan kasus korupsi terjadi oleh karena tidak adanya sanksi yang keras dan tegas bagi para koruptor. Celakanya bila para aparat penegak hukum, aparat pemerintahan pun terlibat korupsi.
Barangkali benar kata Elias Carmetti dalam bukunya yang berjudul “Corruption: Expression of Human Greed” bahwa bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kerakusan manusia. Pesan moral dari Elias ini hendak mengatakan bahwa kerakusan manusia dapat merusak kehidupan di bumi ini. Pikiran manusia yang rakus tidak pernah puas dengan keuntungan berapa pun (avarus animus nullo satiatur lucro) dapat merusakkan tatanan kehidupan sosial. Koruptor adalah manusia yang rakus. Oleh karena itu, koruptor sebaiknya dienyahkan. (*)
Penulis adalah Guru SMPK Firgo Videllis Maumere