Oleh: Nia Daniati
Atnike Nova Sigiro, M.Sc., Direktur Jurnal Perempuan, beliau biasa disapa dengan nama Atnike. Atnike menempuh pendidikan S1 di Universitas Indonesia pada tahun 2000, kemudian melanjutkan studi Pascasarjana S2 di University Of London pada tahun 2007, dan terakhir melanjutkan program Doktor S3 di Universitas Indonesia pada tahun 2018.
Atnike memiliki dua pengalaman yang dia tekuni yaitu Lecturer at Paramadina Graduate School Of Diplomacy Universitas Paramadina, dan Founder (Units taught: Diplomacy, Human Rights and Environment, Political Enomy in Governing the Market, and Diplomacy in ASEAN) and Advisory Board Lokataru Foundation pada tahun 2017.
Atnike mengatakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah upaya yang dilakukan demi memenangkan politik kesejahteraan yang merupakan harapan semua pihak, termasuk perempuan, oleh karena itu pentingnya untuk mengetahui bagaimana prespektif feminis memandang kebijakan publik.
Apa kira-kira sebutan yang paling ditakuti oleh orang Indonesia? Kalau anda orang Indonesia dan perempuan? ”Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Gerwani.
Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Atnike dalam sesi kuliah ketiga KAFFE ke-10 yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan dengan tema “Post-truth dan Feminisme” pada Kamis (5/4).
Lebih lanjut Atnike menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia sebagai perempuan maka salah satu stigma politis yang sangat diskriminatif dan terus direproduksi hingga detik ini adalah Gerwani. Stigma politis yang diskriminatif tersebut terus muncul dan hadir di dalam masyarakat hingga saat ini karena situasi paranoid yang diciptakan oleh post-truth. Post-truth sendiri merupakan suatu situasi ketika fakta objektif tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan emosi atau belief yang dipercaya oleh masyarakat.
Mengangkat isu post-truth dan feminisme, Atnike menjelaskan bahwa situasi paranoid yang diciptakan oleh post-truth memberikan ruang bagi diskursus konservatif untuk berkembang dalam masyarakat. Akibatnya jargon-jargon konservatif dengan kultur patriarki yang sudah lama hidup di masyarakat mendapatkan lahan untuk terus tumbuh.
Seksisme sebagai bagian dari patriarki semakin diperkuat melalui media sosial dalam situasi post-truth. Atnike mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber yang selalu menyudutkan perempuan dengan berbagai cara seperti mempermalukan, mengintimidasi, dan melecehkan. Situasi tersebut biasanya kita lihat pada saat momen politik, seperti pemilu/pilkada.
Pada momen politik, target kekerasan yang diserang biasanya adalah para politisi perempuan dan para aktivis perempuan atau aktivis HAM. Atnike memberikan contoh beberapa tokoh perempuan yang mengalami situasi tersebut di media sosial pada saat pemilu/pilkada berlangsung di Indonesia. Komentar yang diberikan oleh warganet pada setiap pandangan yang disampaikan para tokoh perempuan di media sosial seringkali tidak berhubungan sama sekali dengan konteks yang disampaikan.
Sebaliknya, mereka justru menyerang personal dan keperempuanan para tokoh tersebut. Serangan-serangan terhadap para tokoh perempuan di media sosial, menurut Atnike, merupakan wujud dari kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber.
Dampak dari post-truth dan kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber dapat membuat perempuan menarik diri dari diskursus publik dan partisipasi politik. Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melawan post-truth dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, antara lain, (1) gerakan feminis harus membangun strategi di dunia siber, (2) perlunya mendorong gerakan digital citizenship, (3) mendorong advokasi kebijakan untuk membedakan dan mengatur harassment versus real threat, serta (4) perlu adanya online support group.
Atnike menjelaskan lebih lanjut terkait empat hal diatas, gerakan feminis harus membangun strategi di dunia siber karena ancaman terhadap perempuan atau kekerasan terhadap perempuan di dunia internet atau media sosial itu adalah ancaman yang nyata. Tidak menutup kemungkinan jika ancaman tersebut dapat terjadi di dunia nyata, misalnya akibat menyampaikan suatu pandangan politik atau pandangan pribadinya tiba-tiba ada pihak yang menggunakan komentar di dunia maya tersebut sebagai alat persekusi.
Selanjutnya Atnike menyampaikan konsep gerakan digital citizenship yang tidak berbeda jauh dengan konsep citizenship di dunia nyata. “Bahwa dunia digital itu dunia para warga yang harus dibangun dengan etika dan saling menghargai,” ujar Atnike.
Selain itu, advokasi kebijakan untuk membedakan dan mengatur harassment versus real threat menurut Atnike juga perlu diatur engan ukuran yang jelas, tidak sekadar melakukan blokir. Adanya online support group juga dibutuhkan untuk mencari tujuan yang sama yaitu suatu kesadaran baru.
Kekerasan terhadap perempuan dalam dunia siber tidak terlepas dari perkembangan post-truth dalam media, baik media massa maupun media sosial. Atnike menjelaskan bahwa dari televisi kita dapat belajar bagaimana post-truth berkembang sangat pesat di masa sekarang. Peran televisi sekarang ini telah berhasil menurunkan diskursus publik menjadi sebatas entertainment dan showbiz. Masyarakat tanpa disadari telah diajak untuk menelan informasi yang sepotong-sepotong dari televisi.
Pergerakan informasi yang sangat cepat dan tidak tersampaikan secara menyeluruh menjadikan media televisi sebagai media yang fast and chaotic. Media yang seharusnya menjadi alat komunikasi justru menyebabkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram.