Rakyat Selalu jadi Korban
Begitulah. Potret realitas kehidupan politik harian kita tampak begitu kelabu, diselimuti oleh kabut kemunafikan dan kepalsuan. Yang dipertontonkan di panggung depan dunia politik kita didominasi oleh adegan-adegan banal yang sarat pencitraan. Di hadapan para penonton (baca:rakyat), para politisi itu berlomba tampil untuk menjadi yang paling jago berbohong, paling licik dan paling picik.
Untuk menutupi dan menyempurnakan kebohongannya, mereka terbiasa memakai aneka rupa topeng yang berkarakter protogonis, seperti topeng moralis, relijius, kedermawan, kesederhanaan dan sebagainya. Pokoknya, mereka tidak ubahnya seperti kumpulan “iblis” bertopeng “malaikat”.
Lantas, apa jadinya jika dunia politik negeri ini terus diselimuti oleh kabut kebohongan ? Tentunya sulit untuk membungun habitus “politik yang otentik”, seperti yang diidealkan oleh Hannah Arendt. Bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah, jika mitomaniak berkembang secara pendemik dan sporadik di dalam dunia perpolitikan bangsa ini, maka bukan cuma sosok politisi secara individual saja yang akan terjangkiti, tapi secara akumulatif bukan tidak mungkin akan melahirkan “parpol mitomaniak”. Bahkan dalam bentuk yang lebih besar dapat membentuk sebuah “rezim mitomaniak”.
Ketika diantara para politisi mitomaniak saling membohongi dan mengkhianati tentunya itu sangat bisa dimaklumi, sebab itu sudah menjadi hukum alam; bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Namun yang sangat disayangkan adalah selama ini justru rakyat yang sering jadi “mangsa” dari perilaku bohong para politisi mitomaniak tersebut. Faktanya memang rakyatlah yang melulu jadi bulan-bulanan dari praktek pembohongan massif dan sistematis dari para politisi mitomaniak.
Sebenarnya, rakyat bukannya tidak pernah sadar telah jadi korban pembohongan. Tapi anehnya rakyat sendiri justru tidak pernah kapok meskipun berkali-kali dibohongi. Akibatnya, meskipun terus dimaki dan dikutuk karena perilaku bohongnya, politisi mitomaniak tidak pernah berhenti mekancarkan aksinya. Maka pantaslah kiranya Charles de Gaulle, seorang pemimpin militer dan negarawan Perancis pernah mengatakan; bahwa sesungguhnya politisi itu tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya.
Tak salah memang jika kita menaruh kepercayaan dan harapan pada politisi. Seyogianya kepercayaan itu sekedarnya saja, jangan terlalu berlebihan, apalagi sampai bersikap taqlid atau terlalu fanatik. Karena kalau kemudian masih saja ada yang bersikap permisif, tentunya itu sebuah kenaifan, dan cepat atau lambat dapat dipastikan akan berbuah kekecewaan.
Namun meskipun begitu, bukan berarti fenomena massif kebohongan ini lantas dibiarkan begitu saja. Setiap bentuk kebohongan harus mesti dipertanyakan dan dilawan. Resistensi publik terhadap politik mitomania tentunya harus terus dihidupkan dan digalakkan.
Biar tidak selalu jadi korban pembohongan, maka rakyat harus mampu bersikap kritis dan cerdas menyiasati kelihaian berbohong para politisi mitomaniak. Caranya, mungkin tepat bila kita menerapkan kiat sederhana antisipasi ala Khalil Gibran. Dia mengatakan; “Jika kamu berhadapan dengan orang yang licik, maka jangan dengarkan apa yang dikatakannya, tapi dengarkan apa yang tidak dikatakannya”. (*)