Oleh: Adhi Kurnia
Dalam tulisan ini kita dapat berprinsip “undzur ma qola wa latandzur man qola”, artinya jangan melihat siapa yang berkata, tapi lihat apa yang dia katakan. Kemudian kedua kita harus adil terhadap sesuatu yang kita benci, begitu sebaliknya kita adil terhadap sesuatu yang kita cintai.
Dalam berorganisasi tentunya kita harus mengetahui bagaimana organisasi akan berjalan kedepannya. Penulis menemukan rasa dalam organisasi tatkala pada suatu pekerjaan tukang tambal ban. Fenomena dalam pekerjaan tukang tambal ban ada yang menyebar paku dan ada yang menunggu konsumen. Pada masalah moral menyebar paku dipandang perbuatan yang buruk hanya karena dengan tujuan ada keuntungan dibaliknya dengan merugikan yang lain.
Pilihan yang kedua bagi pekerjaan tambal ban adalah menunggu kedatangan pelanggan yang mengalami ban bocor. Tanpa harus mencari tukang yang lain ketika ban bocor maka mau tidak mau harus mencari tukang tambal.
Kondisi yang ditemukan penulis ketika ada orang yang bocor bannya, tidak bisa ditolong kecuali hanya memberitahu tempat dimana tukang tambal terdekat. Tidak bisa didorong, karena permasalahannya bukan pada tidak dapat menyala, namun lebih kepada menjaga kondisi ban agar tidak terlalu parah bocornya . Dalam keadaan yang lain ketika tidak tahu tukang tambal terdekat maka hanya bisa berdoa semoga menemukannya sendiri. Dalam keagamaan, niat sudah menjadi satu kebaikan.
Ditarik dalam realita kehidupan, tukang tambal ban adalah pekerjaan penjual jasa , dimana keahlian dari tukang tambal ban adalah yang menjadi modal utama. Sehingga dalam mendapatkan yang dinamakan rejeki berarti mereka menunggu ketika orang lain membutuhkan, dapat kita ambil bahwasanya bukan untuk memanfaatkan kondisi tapi bagaimana diri tukang tambal ban dapat belajar yang namanya rejeki tidak akan kemana. Tidak ada upaya untuk berambisi harus setiap hari menambal ban dengan target sekian. Tapi bagaimana dia harus ada setiap saat ketika ada yang membutuhkannya.
Kita dapat belajar bahwasanya bagaimana tetap eksis meskipun dalam kondisi yang serba untung-untungan. Lantas bagaimana untuk tetap eksis? Apakah bisa tukang tambal ban eksis dengan keahlian sebagai tukang tambal ban?
Bagaimana pun tukang tambal ban dapat menjadi penolong bagi para pengendara saat di situasi yang denting, rasanya pekerjaan ini tidak dapat dipandang remeh, perlu adanya keahlian yang memumpuni dalam melakukannya. Setingkat mahasiswa pun jika tidak memiliki keahlian dalam bidang ini maka pasti tidak mampu berbuat apa-apa. Karena keahlian tukang tambal ban bukan sebatas menambal ban dan selesai, namun keselamatan pengendara patut dijadikan bahan pertimbangan.
Jika penulis mengambil gagasan pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara dalam narasi “Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah “. Maka dari tukang tambal ban pun kita dapat mengambil beberapa filosofis dalam organisasi.
Sebagai tukang tambal ban yang terpelajar, dirinya tidak perlu melakukan hal-hal yang bersifat melemahkan orang lain untuk mendapatkan pelanggan. Ini adalah suatu bentuk pemaksaan yang tidak bermoral, bagi tukang tambal ban ketika dirinya memiliki kemampuan sudah barang tentu kemampuannya akan dicari dan dibutuhkan tanpa harus memaksakan kehendak orang lain.
Dalam organisasi barangkali kemampuan ini tidak terletak dalam hal-hal teknis, namun bagaimana hendaknya peka dan peduli apa yang menjadi permasalahan yang sedang dihadapi. Cukup dari lingkungan kecil tak harus muluk muluk pada skala nasional.
Eksistensi tukang tambal ban bukan terletak pada kemajuan alat yang digunakan atau terkenalnya tukang tambal ban tersebut. Sekali lagi mau tidak mau, meskipun dengan peralatan yang cukup dan tidak perlu kenal siapa sosok tukang tambal ban ini, ketika kita mengalami ban bocor pasti akan tetap menambal pada tukang tambal ban tersebut. Jadi bukan dari sikap pasrah dan menerima dengan kondisi, lebih kepada kita ada di setiap saat bagi orang lain dengan berdasarkan pada kemampuan atau gagasan-gagasan yang diusung oleh organisasi.
Indonesia merdeka tahun 45, Muhammadiyah berdiri tahun 1912. Hal ini dapat kita ambil pelajaran bahwasanya, sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaan Muhammadiyah sudah berkontribusi untuk mengupayakannya melalui gerakan-gerakan. Saya berpandangan, eksistensi Muhammadiyah bukan terletak pada hal-hal yang bersifat praktis. Namun sudah menjadi landasan yang utama untuk mewujudkan kemerdekaan tanpa diembel-embeli dapat apa?
Jika kita mengaku sebagai kader Muhammadiyah, maka tak cukup rasanya jika kita hanya mencicipi yang enak saja tanpa harus merasakan pahit.
Pesan tukang tambal ban bagi penerus organisasi ini, keselamatan bagi pengendara menjadi hal yang paling penting untuk dipertimbangkan. Bukan sekedar terlena dalam kemeriahan acara yang euforia. Namun bagaimana tetap meneguhkan prinsip-prinsip gerakan. (*)
Penulis adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam FAI Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Tulisan pernah dimuat di sejumlah media cetak maupun online.