Amandemen Konstitusi di Indonesia
Di Indonesia, kata Pan Mohamad Faiz, klausul amendemen Konstitusi UUD 1945 hanya dianggap sebagai dekorasi konstitusi. Rezim Orde Baru bertekat untuk membenarkan dan mempertahankan UUD 1945 tanpa amendemen.
“Artinya UUD 1945 itu harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Kalaupun mau diamendemen, proses mekanismenya dibuat sangat rigid dan sulit mealalui pembentukan UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
“Namun permasalahannya, mekanisme ini melebihi dari apa yang ditentukan oleh klausul mandemen dalam UUD 1945 itu sendiri. Pada hal dalam UUD 1945 tidak ada soal referendum,” tegas Pan Mohamad Faiz.
Makanya, kata Pan Mohamad Faiz, tidak pernah selama kekuasaan rezim Orba terjadi perubahan UUD 1945, hingga sampai suatu titik ditemukannya suatu constitutional momentum atau political momentum pada tahun 1998 yg ditandai dengan lengsernya Soeharto dan runtuhnya rezim Orba.
Diketahui, UUD 1945 mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1949 dan sudah diamandemen sebanyak empat kali, dari tahun 1999 hingga 2002. Pan Mohamad Faiz mengungkapkan, hasil amendemen UUD 1945 yang sudah dilakukan empat kali itu hasilnya memiliki sejumlah kelemahan.
Pertama, sistematika UUD 1945 yang tidak teratur. ada pasal-pasal yang mang masih sama dibuat sampai dua kali.
“Misalnya soal kebebasan berserikat dan seterusnya,” katanya.
Kedua, para sarjana banyak menilai proses amendemen konstitusi sangat kental dipengaruhi oleh identitas dan kepentingan partai-partai politik
“Lebih-lebih sekarang ini nuansa kekentalan kepentingan politik makin kuat. Kalau dulu masih ada yang namanya perwakilan atau fungsional representatif yang berasal dari non parpol,” ungkapnya.
Ketiga, sistem kamar parlemen yang tidak jelas. apakan kita mau menggunakan bikameral, trikameral atau unikameral.
“Kalaupun bikameral, bagaimana dengan kewenangan DPD? Kenapa kewengan DPD begitu terbatas,” sebutnya.
“Belum lama ini saya sempat berdiskusi dengan salahsatu anggota DPD. Ia mengaku tidak memiliki fungsi apa-apa jadi anggota DPD. Dia mengataka; apakah tidak sebaiknya DPD ini dijadikan saja satu fraksi di DPR biar punya kekuatan terlinat dalam proses legislasi?,” imbuhnya.
Keempat, keabsurdan sistem pemerintahan.
“Semua kelemahan itu biasanya baru diketahui beberapa tahun setelah dilakukan amendemen,” katanya.
Dari realitas ini, lanjut Pan Mohamad Faiz, kemudian muncul 4 kelompok yang merespon amendemen UUD NRI 1945.
Pertama, kelompok yang menginginkan kembali ke UUD 1945 yang asli.
“Sebenarnya tidak cocok disebut Undang-Undang Dasar yang asali, karena mana ada UUDD yang tidak asli. Tapi mungkin mungkin lebih pas disebut dengan UUD yang diputuskan pada tahun 1945” katanya.
Pan Mohamad Faiz mengungkapkan beberapa hal yang menjadi alasan kelompok yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli, diantaranya: (1) hasil amendemen konstitusi dinilai menghalangi sistem negara dan pemerintahan, (2) ketidakjelasan kekuasaan yudikatif menyebabkan lembaga eksekutif menjadi lemah dan hak preorogratif presiden menjadi berkurang, (3)telah keluar dari nilai-nilai perekonomian nasional yang didasarkan pada pasal 33 UUD 45 dan (4) sistem politik menimbulkan kekacauan dan tindakan koruptif oleh ppara pemilih politik, baik di pusat maupun daerah, akibat model pemilihan langsung.
Kedua, kelompok yang menganggap UUD 1945 tidak perlu diubah saat ini. “Menurut kelompok ini, Dilaksanakan saja terlebih dahulu dengan baik dan benar, karena ini tergantung orangnya bukan sistemnya,” katanya.
Ketiga, kelompok yang menilai UUD 1945 perlu diubah setelah dilaksanaaknnya Pemilu.
“Menurut kelompok ini, partai politik harus jujur kalau memang mau mengubah soal pemilu, apa yang diubah pada pasal tersebut dan kasih tau sama rakyat,” katanya
Keempat, kelompok yang berpendapat UUD 1945 harus segera diubah kapan saja diperlukan.
Kembali ke UUD 1945 Asli Sebuah Kemunduran.
Pan Mohamad Faiz kemudian menyoroti soal keinginan kembali ke UUD 1945 asli. Menurutnya, kalau ada yang mengingikan kembali kepada UUD yang sama persis dengan UUD 1945, maka sepertinya perlu mencermati pesan Ir Soekarno yang disampaikannya pada Rapat PPKI 18 Agustus 1945;
“Tuan-tuan semua tentu mengerti, bahwa Undang-undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang Undang Dasar yang lebih sempurna,”
“Tuan-tuan tentu mengerti bahwa ini adalah sekedar Undang Undang Dasar Sementar, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa bahwa barangkali boleh dikatakan pula inilah revolutie grondwet. Nanti kita akan membuat Undang Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan, agar kita ini harus bisa selesai dengan Undang Undang Dasar itu.”
“Soekarno sudah ngomong demikian pada waktu itu. Dan sekarang kita sudah berada jauh dari masa itu, lantas kemudian jika banyak yang memaksakan kembali ke UUD 19 45 yang asli, maka itu sebuah kemunduran.
Ia membeberkan beberapa implikasi kehilangan ketentuan jika kembali ke UUD 1945 asli, seperti; (1) pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua kali, (2) pembentukan DPD, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, (3) Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi dipilih oleh MPR, (4) Pelaksanan pemilu bangi anggota DPR dan DPRD secara langsung, bebas dan rahasia, dan (5) penambahan berbagai pasal baru tentang jaminan dan perlindungan atas hak asai manusia.
“Jadi, kalau ada yang ingin mengubah dan memperbaiki itu akan lebih dapat diterima, menurut saya,” tegasnya. (Bersambung ke hal 3)