Oleh: Aisyah Misza Nurcholis
Munculnya pinjaman online di tengah masyarakat membawa pengaruh yang cukup besar. Pasalnya, pinjaman online memberikan berbagai kemudahan dalam mendapatkan pinjaman uang secara 100% digital. Hanya dengan bermodalkan foto dengan KTP, masyarakat bisa mendapatkan pinjaman uang dengan mudah untuk memenuhi berbagai kebutuhan pinjaman.
Maka dari itu, tak heran bila pinjaman menjadi solusi kemudahan dalam mendapatkan pinjaman uang, khususnya di era pandemi seperti sekarang ini. Di mana calon peminjam tidak perlu mendatangi kantor untuk mengajukan pinjaman.
Di Indonesia sendiri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengatur regulasi pinjaman online berdasarkan Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016. Dan hingga Oktober 2021, jumlah penyelenggara pinjaman online yang telah terdaftar di OJK berjumlah 106 penyelenggara.
Kendati dengan hadirnya pinjaman online yang membantu masyarakat Indonesia, terkadang muncul di benak kita perihal hukum pinjaman online menurut syariat Islam.
Indonesia yang merupakan negeara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, saat ini sudah banyak yang mulai tersadar betapa pentingnya menerapkan hukum syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak lama, Islam telah mengatur hukum melakukan pinjam meminjam. Baik dari hukum untuk peminjam dan orang yang memberikan pinjaman.
Riba
Peraturan pertama dalam pinjam meminjam menurut syariat Islam adalah dengan mengharamkan riba. Riba merupakan bunga pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada pihak peminjam.
Larangan riba telah tertuang pada Al-Qur’an berikut ini:
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah [2]: 275).
Selain itu, larangan riba juga telah tertuang pada hadist sebagai berikut ini:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Kata beliau, ‘Semuanya sama dalam dosa’.” (HR. Muslim).
Selain itu juga, Habib Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin Umar al-Mahsyur menjelaskan cara-cara untuk terhindar dari praktik pinjam meminjan dengan riba di dalam kitab Bughyahal-Mustarsyidin:
إِذِ الْقَرْضُ الْفَاسِدُ الْمُحَرَّمُ هُوَ الْقَرْضُ الْمَشْرُوْطُ فِيْهِ النَّفْعُ لِلْمُقْرِضِ هَذَا إِنْ وَقَعَ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ فَإِتْ تَوَاطَآ عَلَيْهِ قَبْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيْ صُلْبِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ عَقْدٌ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَسَائِرِ حِيَلِ الرِّبَا الْوَاقِعَةِ لِغَيْرِ غَرَضٍ شَرْعِيٍّ
“Praktek hutang yang rusak dan haram adalah menghutangi dengan adanya syarat memberi manfaat kepada orang yang menghutangi. Hal ini jika syarat tersebut disebutkan dalam akad. Adapun ketika syarat tersebut terjadi ketika sebelum akad dan tidak disebutkan di dalam akad, atau tidak adanya akad, maka hukumnya boleh dengan hukum makruh. Seperti halnya berbagai cara untuk merekayasa riba pada selain tujuan yang dibenarkan syariat.” (Bughyahal-Mustarsyidin, hlm 135).
Melarang Penundaan Peminjaman Hutang
Peraturan kedua dalam pinjam meminjam menurut syariat Islam adalah dilarang menunda membayar pinjaman. Pasalanya, hal itu menjadi haram jika peminjam dalam keadaan sudah mampu untuk membayar.
Larangan riba juga telah tertuang pada hadist sebagai berikut ini:
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ.
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR. Nasa’i).
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ…
“Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman….” (HR. Bukhori).
Selain itu juga, Syekh Badruddin al-‘Aini memberikan penjelasan rinci tentang HR. Bukhori di atas di dalam kitab ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhori:
لأن المعنى أنه يحرم على الغني القادر أن يمطل بالدين بعد استحقاقه بخلاف العاجز
“Makna hadits di atas (“penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman”) bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar),” (‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhori, juz 18, hal. 325).
Memaafkan Peminjam yang Tidak Bisa Membayar
Peraturan ketiga dalam pinjam meminjam menurut syariat Islam adalah dengan memaafkan peminjam yang tidak bisa membayar hutang. Meski hutang memang harus oleh peminjam dalam keadaan apapun, bahkan ahli warisnya wajib untuk membayarkan hutangnya jika peminjam telah meninggal dunia.
Akan tetapi jika peminjam hutang berada dalam keadaan di mana ia tidak dapat membayar hutang, maka memaafkan peminjam hutang tersebut merupakan hal yang sangat mulia.
Memaafkan peminjam hutang telah tertuang pada Al-Qur’an berikut ini:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [02]: 280).
Selain itu, memaafkan peminjam hutang juga telah tertuang pada hadist sebagai berikut ini:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:كان تاجر يداين الناس، فإذا رأى معسراً قال لفتيانه تجاوزوا عنه لعل الله أن يتجاوز عنا، فتجاوز الله عنه
“Dari Abu Hurairahradhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Ada seorang pedagang yang memberikan pinjaman kepada manusia, maka jika ia melihat orangnya kesulitan, ia berkata kepada pelayannya: Bebaskanlah ia, semoga Allah membebaskan kita ( dari dosa-dosa dan adzab- ), maka Allah pun membebaskannya”. (Muttafaq ‘Alaih).
Kesimpulan
Dari beberapa aturan pokok di atas, pinjaman online hukumnya halal apabila mengikuti beberapa aturan sesuai yang tertuang pada Al-Qur’an dan hadits. Saat ini, Anda tidak perlu khawatir, karena saat ini sudah mulai banyak pinjaman online berbasis syariah yang menawarkan pinjaman tanpa bunga untuk Anda yang lebih suka dengan transaksi berbasis syariat Islam. (*)
Penulis adalah Mahasiswi Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta