Dari “Sebuah Lagu untuk Umat Manusia”
Karya: Nazik Al Malaikah
Reruntuhan yang menumpuk menceritakan kisah yang hanya didengar oleh bayangan dan hantu.
Mereka menceritakan lagu-lagu yang pernah melayang di antara pilar-pilar ini,
melalui ruang tamu tenggelam dalam kehangatan dan mimpi.
Mereka ingat tangisan kegembiraan, garis dan melodi mabuk
terjun ke dalam kenikmatan yang luar biasa
dimana misteri kecantikan, pemuda sembrono, godaan cinta
berbaring tidur—
Pembuluh darah kehidupan telah mengering di sini
Yang tersisa hanyalah kenangan tanpa nada.
Reruntuhan yang menumpuk menceritakan kisah yang hanya didengar oleh bayangan dan hantu.
Mereka menceritakan tentang mereka yang kembali dari perang sebagai sisa-sisa,
hanya pecahan, segenggam luka
menyanyikan lagu kematian,
mengisi udara dengan mazmur setelah mazmur dingin—
Bagaimana tahun-tahun kekurangan membayangi
di atas mata mereka, bibir mereka,
gema langkah kaki mereka yang jatuh
mengisi udara seperti lonceng kematian
saat mereka menyanyikan lagu kekacauan mereka,
hitam, lagu-lagu pemakaman mereka.
Apakah ada secercah cahaya
di balik rahasia pucat mata yang sunyi ini?
Cerita tentang malam-malam yang berlalu perlahan
dan salju yang tebal dan lebat?
kesedihan tanpa tidur di mata para penjaga
yang terus berjaga di parit berdarah
sementara malam menumpahkan salju di kelopak mata mereka
dan mereka kehilangan perasaan di kaki mereka?
Mereka mengawasi katakombe malam,
mabuk dengan insomnia dan janji kemenangan,
saat urat perasaan dalam ingatan mereka mati
dalam keheningan yang dingin dan telanjang.
Mereka mengawasi hidup dengan kelelahan
dipelintir dengan pahit, pada zaman dahulu dibelenggu—
sebuah cerita terbentang di setiap pasang mata,
diceritakan pada malam debu yang gelisah.
Dan para prajurit yang tertidur dengan orang mati,
tidur di bumi yang beku—
Mimpi mereka adalah mimpi buruk yang penuh dengan api,
mayat, kebiadaban dan penyakit,
sampai pagi kembali, dan kematian dengan taringnya yang menghitam
melewati lagi, menuai,
meninggalkan apa-apa selain keheningan reruntuhan.
Malam hilang seribu fajar,
dan pagi hingga seribu malam—
Semuanya layu dan hancur; tidak ada yang tersisa
tapi kenangan dan bayangan.