Critical Race Theory dalam Menangkal Hate Speech (Ujaran Kebencian)
Aliran pemikiran critical race theory yang dimaksudkan untuk menekankan efek ras pada status sosial seseorang. Critical race theory mengandung dimensi aktivitas yang tidak hanya mengatur bagaimana cara masyarakat mengatur diri, tetapi juga mengubahnya menjadi lebih baik.
Richard Delgado and Jean Stefancic dalam tulisannya What Is Critical Race Theory? menjelaskan bahwa gerakan Thecritical race theory (CRT) adalah sekelompok aktivis dan para sarjana yang tertarik dalam mempelajari dan mentransformasikan hubungan antara ras, rasis, dan kekuasaan. Gerakan ini melihat banyaknya bermunculan isu-isu hak asasi manusia (HAM) dan etnis, namun isu-isu ini diposisikan dalam perspektif yang luas, seperti ekonomi, sejarah, kontekstual, kepentingan kelompok dan personal, dan bahkan perasaan dan ketidaksadaran.
Critical race theory awalnya muncul pada pertengahan 1970-an. Teori ini diinspirasi oleh para pengacara, aktivis, sarjana hukun di seluruh dunia yang melihat adanya perdebatan sengit Hak Asasi Manusia (HAM) di era 1960-an. Dengan menyadari perlunya teori dan strategi baru dalam menolak bentuk-bentuk rasisme, pernulis awal seperti Derrick Bell, Alan Freeman, dan Rechard Delgado (Co-author) berpikir betapa pentingnya menulis atau menjelaskan teori baru mengenai anti rasis. Mereka segera bergabung dengan pemikir lainnya, dan kelompok ini melakukan konfrensi pertama di biara luar Madison, Wisconsin, ada musim panas tahun 1989.
Para ahli critical race theory juga mengamati adanya subjektivitas politik yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang memiliki otoritas. Jika otoritas dijadikan sebagai ciri khas yang harus diterapkan’ maka orang atau kelompok otoritatif harus menerapkan keadilan. Prinsip keadilan dalam penerapan hukum tidak bisa dipisahkan dengan sistem pendidikan hukum yang mengajarkan keadilan. Oleh karenanya, dunia pendidikan juga perlu menerapkan critical race theory untuk menentang dan menganalisis hukum yang ahistoris dan tidak kontekstual.
Berdasarkan critical race theory tersebut jika dihubungkan dengan media baik itu media sosial maupun bukan masih menjadi ruang yang belum sepenuhnya bisa diatur dalam kebebasan berbicara. Namun, media saat ini juga memungkin untuk dijadikan ruang yang dinamis dan interaktif untuk melakukan ujaran kebencian (hate speech). Platform media sosial yang jarang dimonitor tentang komentar-komentar atau bahasa-bahasa yang mencaci-maki atau diskriminasi menyebabkan konten yang menyakitkan bagi orang menerima ujaran kebancian.
Sebagaimana dikatakan Kavanagh, dkk, interaksi online memiliki mikrokosmos yang dapat mengarah kepada kekerasan jender, ras, seksual, dan ekstrim. Lebih jauh lagi, bahasa yang mengandung amarah yang diterima oleh orang lain (baik individu atau kelompok) memungkin munculnya bahaya yang lebih besar. Interaksi yang tidak terkontrol dan negatif di media berpotensi mengurangi sikap inklusifitas dan kesopanan. Dampak negatif ujaran kebencian yang disampaikan melalui media. Maka dari itu perlu diterapkan critical race theory, sebagaimana dijelaskan Mia Moody-Ramirez dan Hazel James Cole. Dalam analisa Mia dan James, critical race theory memberikan teknik, arahan, dan bimbingan bagi pengguna mediaataupun media sosial seperti Twitter,Facebook, dan lainnya untuk berkomunikasi secara positif.