Kebersayapan tentu saja akan menjadi sikap bagi organisasi tertentu meski tak tertutup kemungkinan berterus terang. Itu sesuai kenyataan perkembangan politik yang dihadapi nanti. Itulah bacaan untuk organisasi lain seperti Dewan Gereja dan organisasi yang bernaung di bawahnya meski tetap saja ada kemungkinan mereka tidak satu suara dalam dukungan.
Ada nama-nama yang gambarnya tidak disertakan di sini. Katakanlah Mendagri Tito Karnavian. Ia tentu sangat disukai oleh, misalnya, politik luar negeri Amerika Serikat. Juga diasumsikan bisa memainkan serba sedikit jejaring figur-figur Kepala Daerah yang nanti jumlah pjs-nya begitu banyak.
Tentu ada pengalaman yang cukup dihitung dalam pemeranan diri ketika menjadi Kapolri tempohari, sebab sentimen korps bisa melahirkan dukungan keluarga besar Polri. Tentu saja ini tak mungkin tak dihitung oleh para calon kontestan dan partai-partai yang terus membaca dan menciptakan peta.
Orang dari PKS tentu tidak perlu dianggap secara underestimated karena disiplin mereka di sana begitu kuat dan seandainya pun di lapangan mereka berbenturan dengan sejumlah partai beririsan kedekatan ideologis tetap saja memiliki keunggulan tersendiri. Bukankah jika ia supply Cawapres peta juga bisa begitu dinamis?
Orang membisikkan saya sebuah nama. Mantan Panglima TNI, Moeldoko. Sabar sajalah dulu. Rasanya bintang Jenderal ini telah begitu melemah seketika melakukan kudeta kepada Mayor AHY dan apalagi dengan kegagalannya dalam kudeta itu.
Sekali lagi, kontestasi sesungguhnya belum berlangsung meski hitungan waktu menuju 2024 sebetulnya sudah sangat “mepet” diukur dari dinamika politik.
Di atas segalanya, Pilpres itu hanya agenda demokrasi berkala yang tujuannya untuk merealisasikan tujuan pendirian NKRI. Apa itu? Kita bisa membacanya kembali terutama dalam narasi Pembukaan UUD 1945. Di sana 5 pesan pokok yang sakral:
- Menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas permukaan bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Penjajahan itu, sebagaimana Pembukaan UUD 1945 memaksudkannya, tak terbatas kepada pengalaman doeloe dijajah oleh 6 bangsa, tetapi juga bisa sesama warga negara atau kelmpok warga negara. Dimensinya luas. Bisa secara budaya, apalagi secara ekonomi. Ekstrimisme ekonomi dan intoleransinya sangat dajsyat untuk tak dihitung dalam kontestasi pilpres.
- Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (manusianya dan wilayahnya).
- Memajukan kesejahteraan umum. Ini masih sangat tertutup dari pembicaraan kritis, karena dalam makna yang mendalam ia bisa sebagai lead pembebasan orang dari kewajiban iyuran kesehatan dan kewajiban negara menyediakan lapangan kerja bagi tiap-tiap warganegara [lihat kembali pasal 27 ayat (2) UUD 1945] dan lain-lain yang memerlukan penafsiran filosofis dan moderen. Kewajiban memberi pekerjaan kepada warga tidak identik dengan penerbitan UU Ciptakerja. Itu pasti.
- Mencerdaskan kehidupan bangsa yang bisa saja makna mutakhirnya harus ditundukkan pada klausul kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan gratis sejak dasar (TK) hingga lanjut (S3). Asumsi yang dapat muncul dari ketentuan ini ialah bahwa pemerintah tak boleh berdagang atau membiarkan pendidikan menjadi mata dagangan di Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri. Ketentuan alokasi anggaran 20 % untuk pendidikan (APBN dan APBN) harus dihitung ulang untuk mengeluarkan nomenklatur pembiayaan yang tak relevan dalam birokrasi pemerintahan agar fokus sesuai narasi UUD 1945, yakni pendidikan, persekolahan, kurikuler.
- Ikut dalam usaha perjuangan atau melawan kendala yang mengganggu atas ketertiban dunia.
Untuk apa pilpres digelar jika rakyat tak makin sejahtera? Apa artinya pemerintahan jika hanya untuk memastikan sumberdaya terbagi di kalangan elit semata atau kekuatan asing yang terus bercokol. Narasi perlawanan atas semua ketakwajaran konstitusional harus dihidupkan.
Rakyat harus diajak berhenti tanpa arah dan tanpa kesadaran yang menyebabkannya membiarkan diri menjadi korban kejahatan politik terbiarkan, yakni praktik jual beli suara.
Satu hal yang perlu sama-sama diwaspadai ialah arang habis besi binasa. Artinya pemilu dan pilpres mendatang bisakah ditegakkan memiliki integritas dengan kadar jujur sejujur-jujurnya dan adil seadil-adilnya? (*)
Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS).