Oleh: M. Rizky A Manurung
Konon katanya, setiap orang pasti dihadapakan pada beberapa keadaan-keadaan sulit yang dalam jangka waktu singkat, tidak dapat dijawab melalui rasionalitas. Fenomena dominan terjadi pada fase usia 20 -30 tahun yang cenderung merasakan serangan emosional luar biasa baik eksternal maupun internal sehingga menjadi cemas, tidak nyaman, kebingungan dengan arah hidup, merasa salah arah dan putus asa. Dalam psikologi kondisi ini disebut dengan istila quarter life crisis.
Setiap tahapan dalam perkembangan psikologi memiliki krisis yang berbeda-beda, jika tahapan berhasil diselesaikan akan didapatkan hasil kepribadian yang sehat, serta kebajikan dasar, lalu bagaimana jika tidak semua orang berhasil menyelesaikan tahapan krisis ini.
Menyoroti persoalan bunuh diri yang cenderung dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir yang berada pada usia 20an seperti kabar baru ini pada tanggal 22 agustus 2021 lalu, meninggalnya mahasiswa S2 Teknik Sipil yang berinisal AN. Pakar kejiwaan RS Melinda 2 bandung dr. Teddy Hidayat mengungkap angka gejala depresi pada mahasiswa terbilang tinggi (dikutip dari detiknews.com). Apakah hal serupa terjadi karena ketidakmampuan diri melewati masa quarter life crisis?
Sedikit menyinggung ekstrem berpikir atau abstraksi sederhananya bagaimana jika hukum menyentuh sisi pendekatan sebab-akibat untuk menjawab solusi permasalahan ini? Bagaimana bias?
Pertama menelusuri faktor penyebab terjadinya tindakan bunuh diri yang jika di cermati beberapa diantaranya karena tekanan-tekanan psikis dan atau fisik, menyebabkan mentalitas yang tidak sehat. Konkritasi tekanan yang dimaksud misalnya peristiwa pelecehan verbal, janji-janji yang membebani, sindiran-sindiran sosial dan sebagainya.
Adanya pengaruh sikap dan respon eksternal diluar kendali sehingga menyebabkan depresi berkepanjangan. Kedua memasukan urgensi hukum untuk menjerat subjek yang mempengaruhi fator penyebabnya bunuh diri tersebut.
Kajian asas legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP “ Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” tentu saja membatalkan konsep pemidanaan terhadap subjek yang menyebabkan seseorang bunuh diri dalam artian peristiwa abstrak seperti tekanan mental dari stigma sosial.
Seseorang yang setiap harinya mendapat pertanyaan seperti kapan wisuda, kapan menikah, dan sebagainya menyebabkan tekanan mental berujung depresi dan bunuh diri, jika memakai kacamata KUHP tentu tidak memenuhi unsur pasal delik pidana. Berbeda dengan peristiwa yang dimulai dari adanya pelecehan seksual secara verbal, dalam hal ini bias saja pelaku dijerat Pasal 281 KUHP dan atau Pasal 315 KUHP (walau praktiknya masih perlu analogi dan kajian mendalam terhadap terpenuhinya unsur–unsur pasal yang dimaksud)
Literasi ideal demikian sedikit dikesampingkan dalam pembicaraan ini karena narasi bergerak dari peristiwa tekanan jiwa yang terjadi pada setiap orang. Menyinggung tekanan jiwa yang terjadi pada setiap orang disandingkan dengan ancaman kekerasan, Pasal 45B Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tampaknya belum cukup menjerat keadaan demikian walau Josua Sitompul dalam bukunya “Cyberspace Cyber Crime Cyberlaw Tinjauan Aspek menjelaskan kedudukan pasal 45B UU ITE.
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi serta atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ancaman kekerasan dapat menimbulkan rasa tidak aman atau membuat seseorang menjadi takut berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau mengekspresikan diri apa adanya. Demikian juga dengan perbuatan menakut – nakuti. Sebenarnya menakut-nakuti merupakan perbuatan mengekang kebebasan seseorang secara psikis atau mental dalam mengekspresikan dirinya dalam berbagai bentuk perbuatan atau cara , termasuk menjadi merasa rentan”
Seseorang yang terganggu aktivitasnya misalnya tidak fokus belajar karena pikirannya yang terkungkung dengan sindiran-sindiran tidak sehat dari pihak luar seperti stigma masyarakat, maka ia dapat mengadu dengan delik pidana percobaan pembunuhan terhadap pihak luar yang memberinya tekanan mental sebagai pelaku misalnya? Atau istilah lain yang bias dimasukan sebagai tindak pidana kajian mental.
Apakah pengaturan khusus mental adalah suatu kajian mustahil bagi hukum? Sehingga jawabannya kembali lagi menempatkan peristiwa dengan pendekatan unsur delik yang diatur dalam KUHP. Diketahui bahkan pasal 45B UU ITE saja sulit menetapkan tolak ukur apakah seseorang sudah tergoncang jiwanya/terganggu secara psikis.
Disinilah penguatan pembelajaran pendidikan karakter yang tahun 2017 digaungkan oleh bapak Jokowi dan bapak Jusuf Kalla dan dituangkan dalam peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang penguatan Pendidikan Karakter sebagai salah satu program prioritas dengan cita-cita pemerintah akan melakukan revolusi karakter bangsa, sangat penting dijadikan substansi tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Entahlah…(*)
Penulis adalah Sekretaris Bidang Kesehatan PC IMM Kota Medan