Bagaimana peluang Anies Baswedan? Saya kira figur oposisional Joko Widodo hari ini adalah Anies Baswedan. Meski ada orang yang secara simplistis menganggap ia besutan diam-diam Joko Widodo karena dengan memecatnya dari kabinet tempohari berarti dipastikan bertarung di DKI. Joko Widodo dengan dingin dan dini merencanakan sesuatu untuk Anies Baswedan, begitu tuduhan spekulasi itu.
Kemenangannya saat itu (Pilkada DKI) telah menjadi dasar buat posisi politik Anies Baswedan yang begitu penting saat ini. Jika spekuasi itu benar, bagaimana membayangkan “pengkhianatan diam-diam” terhadap Ahok dan Mega yang menjagokan Ahok termasuk mengajukan Djarot Saiful Hidayat (penjaga makam Bilitar) menjadi wakil bagi Ahok?
Saya menepis spekluasi itu. Posisi oposisionalnya, terhadap pemerintahan Joko Widodo, sebaliknya, sangat penting. Orang awam sampai orang intelektual masing-masing akan dapat mengejawantahkannya menjadi sikap dukungan politik. Barisan Cebong yang tak puas dengan Jokowi akan beredar di antara pasangan yang mungkin saja akan menunjukkan kemenonjolan tertentu di sisi Ganjar Pranowo nanti (Jika nasib Ganjar berlanjut ke pentas kontestasi Pilpres). Kampret tentu akan lebih masuk akal dikelompokkan sebagai pendukung Anies Baswedan.
Tetapi tentu tak semua warga negara bisa dipolarisasikan menjadi Kampret dan Cebong. Karena itu kadar rasionalitas dan irrasionalitas akan sangat perlu dihitung. Rasionalitas yang bekerja akan mengevaluasi Jokowi selama dua periode dan jika ia menyesalinya ia akan pergi ke pasangan yang paling tak mungkin bersinggungan dengan Jokowi. Irrasionalitas bersemi dalam politik keterbelahan ini. Maka sesuai arah “Kaka Pembina”, nanti Cebong akan dituntun lebih kencang memperturutkan gaya populismenya yang didisain sebegitu rupa.
Pemain efektif lainnya pada setiap kontestasi ialah organisasi-organisasi besar. Setidaknya harus dihitung NU dan Muhammadiyah. Dengan posisi Wapes yang diisinya, NU adalah pemain resmi dalam kabinet sekarang dan pada pilpres lalu beroleh penghargaan besar direkrut sebagai suplier Cawapres, KH Ma’aruf Amin.
Ada memang kekecewaan di sana antara lain sejumlah figur yang berselera jadi cawapres, tereliminasi, dan Ketum PPP yang masuk bui ditambah dengan Menpora yang bernasib sama. Itu menorehkan sesuatu juga tentu saja, selain ke depan memungkinkan orang seperti Mahfud MD menimbang dan ditimbang untuk peluang dicawapreskan.
Muhammadiyah tak kentara dalam selera terbaca. Tetapi ia selalu sadarkan diri jika pilahan organisasional, ia tak “selincah” NU dan kemudian ia mematut diri sebagai pendukung diam-diam dan mungkin dengan surat edaran bersayap sembari terus berharap dilirik untuk suatu ketika pasca pelantikan presiden (dimintai untuk mengajukan calon menteri).
Sesuatu terus ia pikirkan, bagaimana untuk tak dianggap bisa dionderbiowkan partai terdekatnya secara historis dan kultural. PAN akan merasa terus agak berkeringat dengan apa-apa saja narasi Muhammadiyah selama musim kontestasi ini (Pileg dan pilpres).