Untuk partai baru targetnya tentu bagaimana tidak tereliminasi parliamentary threshold dan peluang mendudukkan kader dalam kabinet.
Memang akan ada partai yang sebetulnya tak memilih dengan pertimbangan persis serupa itu, karena posisi tawarnya lemah dan menyebabkannya tak ubahnya timun bongkok. Ada tak ada seakan tak begitu diindahkan.
Bagaimana dengan partai baru? Mereka akan dipinang untuk kerja pemenangan, namun tidak dihitung untuk pengumpulan dukungan syarat pengajuan pasangan calon. Karena mereka belum memiliki suara pemilu.
Untuk saat ini mereka hanya memiliki sepucuk surat pengakuan sebagai partai peserta pemilu berdasarkan pemeriksaan badan hukum dan syarat pendirian coverage di luasan wilayah (Kecamatan, Kabupaten, Provinsi) di seluruh Indonesia.
Kini survei sudah bekerja. Tetapi saya tidak begitu tertarik dengan hasilnya untuk dijadikan sebagai dasar analisis masalah ini. Jika survei yang benar saya kira tetaplah nama Prabowo masih akan bertengger pada puncak dukungan, disusul Anies Baswedan dan yang lain. Atau bisa saja Anies Baswenan menempati urutan pertama.
Ganjar yang saya kira sudah “kena pompa survei” beberapa bulan ini dibiarkan saja membaca-baca angka-angka atau grafik warna-warni yang dihasilkan oleh lembaga survei untuknya.
Airlangga Hartarto, Eric Tohir dan Puan Maharani adalah tiga tokoh yang saat ini memiliki posisi penting di dalam pemerintahan. Dengan asumsi bahwa mereka memiliki instrumen untuk menggantang popularitas dan elektabilitas, sangat perlulah dihitung angka kejenuhan statistik survei buat mereka. Baliho dan sepakterjang lain juga akan jenuh sendiri seiring dengan judgment orang di lapangan sesuai keperiadaan hidup yang dihadapi.
Bagaimanapun, figuritas selalu menjadi faktor penting dalam pengukiran popularitas dan elektabilitas sehingga orang seperti Gatot Nurmantyo yang saat ini hanya memiliki keterlibatan penting dalam KAMI dapat saja ditambahkan, tentu saja, dengan faktor pengaruhnya sebagai mantan Panglima TNI yang barangkali sangat mungkin dipastikan lebih besar dari semua Panglima TNI yang masih hidup saat ini dan saat pentas dibuka nanti, terutama kepada jejaring yang bisa dikapitalisasi berdasarkan sentimen korps.
Hitunglah sendiri, bahwa di tengah melemahnya oposisi resmi barisan (KAMI) ini terus bernarasi dan sebagian di antara tokoh mereka berurusan dengan masalah hukum (itu tentu saja sebuah potensi refernsial yang penting). Hukum formal tak selalu selaras dengan perasaan keadilan publik. Begitulah penangkapan, pemeriksaan, peradilan dan vonis untuk mereka itu di mata sebagian rakyat Indonesia.
Soal figuritaslah yang menjadi masalah utama bagi Puan Maharani sehingga ketika seseorang membayangkannya mejadi Calon Presiden, maka pertanyaan selanjutnya yang singgah di benaknya ialah “kira-kira bagaimana cara memenangkannya?”
Proposal itu tak akan berlaku di hadapan Prabowo Subianto, karena meskipun pernah maju menjadi cawapres bagi Megawati, tentu bobotnya tidak sama. Ada orang yang berkata bahwa Prabowo itu sangat kompromistis, bahkan menjadi menteri pun dia mau dalam kabinet seorang Presiden yang mengalahkannya dalam pilpres dan yang dalam pandangannya berdasarkan narasi kampanye berada pada kapasitas amat tak membanggakan.
Karena itu tokoh yang memiliki partai perlu dihitung untuk dipasangkan dengan Puan Maharani jika ia tetap ngotot untuk menduduki jabatan kakeknya tempohari (Soekarno). Maukah Airlangga Hartartro? Maukah AHY? Saya yang melihat keduanya berpeluang untuk itu tentu bisa sangat salah.
Rivalitas sesungguhnya belumlah tiba. Maka tawaran serupa itu akan diapresiasi dengan sangat bijak oleh orang dari partai kawakan Airlangga Hartarto. Sedangkan dengan AHY belum tentu urusannya lebih mudah. Perseteruan Mega-SBY tak mudah untuk dilupakan oleh urusan kepilpresan 2024 bagi kedua trah itu, tentu saja.
Eric Tohir mungkin kelihatan lemah posisi. Sebaiknyakah dia diposisikan sebagai potensi dalam daftar tunggu untuk Cawapres? Bagi Eric Tohir peluang akan makin besar jika makin banyak pasangan, tetapi rasanya akan berhenti sebatas cawapres saja, sebagaimana mungkin Gatot Nurmantyo.
Ganjar Pranowo tentu berfikir keras bagaimana cara melembagakan dukungan yang dapat diakumulasi bagai bola salju hari demi hari sejak dirinya di kandang Banteng dianggap sudah menjadi semacam persona non grata. Harus Anda bayangkan kekuatan bisnis besar di belakangnya untuk bisa tampil dalam pentas kontestasi (emang ada yang tak mengandalkan dukungan serupa? haha). Segera setelah tak lagi menjadi Gubernur Jateng, habislah dia, mungkin. Atau saya salah menganalisis?