Oleh: Askolani Nasution
Kita akan merdeka, kata Soekarno dulu. Kita senasib dan sepenanggungan. Dan semua orang percaya kepada beliau. Semua etnik menyatakan bergabung dengan bangsa baru itu. Tentu saja, tak ada agitasi yang lebih hebat dari keyakinan akan harapan baru.
Coba, apa kata Soekarno jika ia lihat di bawah bendera merah putih itu kita ternyata tidak menjadi bangsa yang senasib sepenanggungan? Kita proklamasi tapi tidak semua merdeka. Kita merdeka belajar tapi tidak merdeka dalam lapangan pekerjaan dan akses ekonomi.
Soekarno itu sarjana teknik. Ia bisa kaya kalau ia bekerja di bawah kolonial. Ia lulusan cikal bakal ITB. Hatta itu lulusan ekonomi Leiden. Ali Sastroamidjoyo, dan banyak segenerasinya. Tapi mereka memilih menjadi martir, melawan arus, dipenjara, dibuang, dicabut hak-hak ekonominya.
Baca Juga: Makna Transendental Kemerdekaan
Dan tahukah Anda, banyak yang pemikir, akademisi, tapi mereka takut miskin dan kehilangan pekerjaan. Itu yang membuat kita tidak lagi senasib dan sepenanggungan.
Di bawah bendera itu, ibu kita tidak tahu Pancasila, tidak tahu revolusi 5.0, tidak tahu ada seporsi makanan berharga puluhan juta, tidak tahu ada bedak ratusan juta, dan seterusnya.
Negara bisa lebih kejam dari ribuan bandit yang membunuh dan merampok. Karena korban kematian oleh negara bisa jutaaan orang, korban kemiskinan dari negara bisa ratusan juta orang juga. Negara mengambil semua otoritas hukum dan keuangan, tapi bangsa tidak menjadi kaya.
Don Corleone, mafia Sisilia, dia memonopoli semua perampokan ekonomi. Tapi ada ribuan orang miskin yang dia santuni hidupnya tanpa berita koran. Negara hanya menyumbang paket sembako seharga 100 ribu, semua media menyiarkannya. Dan kita bertepuk tangan. Kita memelihara kegoblokan nasional sebagai warisan budaya.(*)
Tulisan ini dikonversi dari laman Facebook Askolani II
Penulis adalah Penggiat literasi Mandailing Natal