TAJDID.ID~Jakarta || Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra, menyoroti dua putusan hakim Pengadilan Tinggi DKI terkait kasus Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun dan kasus Djoko Tjndra yang didiskon dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun.
Azmi melihat ada tren berbeda yang ditunjukan Pengadilan Tinggi DKI dibandingkan dengan 2 kasus sebelumnya yang juga menjadi perhatian masyarakat, yakni kasus mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, dimana Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya dari 12 tahun menjadi 15 tahun penjara dan kasus Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dengan pidana penjara dari 4 tahun di Pengadilan Negeri menjadi 7 tahun,
“Pada waktu itu terhadap kasus korupsi majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta trennya memperberat hukuman. Tapi sekarang untuk kasus Pinagki dan Djoko Tjandra justru sebaliknya, memperingan atau mendiskon hukuman,” ujar Azmi yang merupakan alumni Fakultas Hukum UMSU ini, Kamis (29/7).
Terkait putusan Majelis Hakim PT DKI atas kasus Djoko Tjandra yang dikurangi lagi masa hukumanya, Azmi melihatnya sebagai fenomena bergesernya Negara Hukum menjadi “Negara hukuman Diskon”.
Azmi mengungkapkan, dalam dua kasus yang jadi sorotan publik, yakni kasus Pinangaki dan kasus Djoko Tjandara, komposis majelis hakim sebahagian besar sama ini dan mereka (hakim) sepakat untuk mendiskon putusan.
“Hakim dalam perkara ini sudah hilang kepekaan hati nuraninya dan integritas kepribadian hakim dalam rangka menyelamatkan bangsa dan negara dari musuh bersama yang namanya kejahatan korupsi” tegasnya.
“Ini namanya bersembunyi dibalik kewenangan, bahwa putusan penilaian hakim menjadi independensi kehakiman dan mengaburkan asas kepatutan, dan rasa keadilan masyarakat,” imbuhnya.
Lebih lanjut Azmi mengatakan, putusan hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini bertentangan dengan sikap dan pertimbangan hukum hakim di pengadilan Negeri di Tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. dimana Majelis Hakim melihat bahwa atas perbuatan pelaku merupakan sebab hal-hal yang memberatkan, sehingga dijatuhi hukuman yang maksimal.
“Namun anehnya di tingkat banding, fakta perbuatan pelaku yang menjadi hal-hal yang memberatkan oleh Majelis Pengadilan Tinggi malah di diskon putusannya. Aneh, argumentasinya kok berlawanan dan terlihat seolah menjadi ‘pertarungan kewenangan'” kata Azmi.
Menurut Azmi, bila pertimbangan hukum sudah diabaikan oleh hakim maka wibawa hukum semakin sangat direndahkan dan merusak lembaga peradilan, apalagi terkait perbuatan terdakwa yang kejahatan korupsinya dilakukan dengan sengaja oleh pelaku bisnis yang berkolaborasi dengan oknum penegak hukum dalam jabatannya yang menjatuhkan kehormatan lembaga penegak hukum negara,
“Saya melihat motivasi majelis hakim untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dan kehormatan hukum sudah hilang,” tegasnya.
Lebih lanjut azmi menyatakan pertimbangan hukum hakimnya menjadi wajib, karena hakim harus memberikan penjelasan tentang fakta yang terbukti dan penafsiran hukum yang diberlakukan atas kasus ini, terkesan majelis hakim mengabaikan hal ini.
“Karenanya patut diduga ada muatan lain yang nempel pada putusan hakim yang menggeser pertimbangan maupun hal hal yang memberatkan menjadi hal hal yang meringankan sehingga menjadikan putusan ini di diskon” ungkapnya.
Azmi menyebut hal ini tragedi tumbangnya keadilan yang kini melanda pada majelis hakim Pengadilan Tinggi dengan memperhatikan beberapa kasus besar yang menarik sorotan publik.
“Atau jangan-jangan Hakim “korban ketakutan”? Entah itu ketakutan akan kekuasaan atau ketakutan akan motif lain? Akibat putusan yang diskon begini rasa keadilan jadi liar. Apa majelis hakim tidak mau tahu, bahwa saat ini rakyat pada kebanyakannya sudah lapar keadilan dan haus kebenaran?,” kata Azmi.
“Putusan pengadilan seperti begini tidak boleh dibiarkan terus, rakyat merana, dikalahkan terus. Semestinya kepada para koruptor ini tidak bisa ditolerir, karena perbuatannya tersebut telah menyengsarakan rakyat banyak dan mengkhianati bangsa,” pungkas Azmi. (*)