Oleh: M. Risfan Sihaloho
Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosanya secara keliru, dan menerapkan solusi yang salah. (Groucho Marx)
Usulan agar Joko Widodo berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2024 yang dilontarkan seorang tukang survei bernama Muhammad Qodari beberapa hari terakhir ini ramai diperbincangkan publik.
Banyak pihak yang menilai gagasan itu sangat kontroversial dan irrasional. Namun seperti biasa, bagaimanapun gilanya sebuah gagasan politis, tetap saja ada yang pro dan mendukungnya.
Catatan kecil ini tidak ingin membahas sisi dugaan inkonstitusionalitas gagasan Qodari yang sempat ramai jadi trending-topic dengan hashtag #tangkapqodari di media sosial. Tulisan sederhana ini cuma ingin mengupas kesan kuat irrasionalitas dari gagasan tersebut.
Jika diperhatikan, sepintas gagasan Qodari itu seolah-olah ingin menawarkan sebuah formula mulia, yakni “jalan-keluar” atas kompleksitas persoalan bangsa hari ini. Hal itu tampak dari alasan Qodari menggagas Jokowi-Prabowo 2024 yang salah-satunya adalah demi menghindari polarisasi politik kembali terjadi di tengah masyarakat. Ia khawatir polarisasi politik seperti yang terjadi di Pilpres 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, serta Pilpres 2019 kembali terulang.
Namun jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya alasan demi menghindari polarisasi politik sangat pretensius. Ada agenda politik terselubung yang coba ingin dimainkan dan digolkan dari gagasan tersebut. Apa itu? Qodari sendiri sudah mengungkapkannya, bahwa ia dan kelompoknya berkenginan kekuasaan Jokowi berkuasa lanjut 3 periode.

Secara politik, keinginan tersebut mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi yang sulit diterima akal sehat itu adalah Qodari secara serampangan masih memposisikan “Jokowi” dan “Prabowo” sebagai ikon rivalitas perpolitakan nasional Indonesia hari ini.
Secara faktual, bukankah sekarang Jokowi dan Prabowo sudah berkawan dan tak berseteru lagi? Bukankah sekarang Prabowo dan parpolnya sudah menjadi bagian dari rezim penguasa?
Perlu dipahami, peta konstelasi rivalitas politik tahun 2014 dan 2019 tidak sama lagi dengan realtas hari ini dan menjelang 2024. Memang kubu Jokowi sampai hari ini relatif masih solid, baik itu parpol pengusung maupun jejaring relawan pendukungnya. Tapi kubu Prabowo sudah retak sejak ia memutuskan lebih memilih jadi pembantunya Jokowi ketimbang istiqomah jadi kekuatan penyeimbang atau oposisi.
Jadi, kalau masih membayangkan Prabowo sekarang sama dengan Prabowo 2014 dan 2019, tentu itu sangat keliru. Prabowo yang sekarang bukan yang dulu lagi, kendati ia pernah melontarkan pernyataan retoris, bahwa dirinya selalu akan timbul dan akan tenggelam bersama rakyat Indonesia.
Dan perlu diingat, tidak sedikit yang jadi pendukung Prabowo di Pilres 2014 dan 2019, mereka bukanlah tergolong pengikut fanatik. Mereka lebih pas diidentifikasi sebagai barisan rakyat yang memang tidak suka dan kecewa dengan Rezim Jokowi. Karenanya, saat prabowo memutuskan gabung dengan rezim Jokowi, mereka tidak menurut. Bahkan justru mereka sangat kecewa kepada Prabowo dan menganggapnya sebagai “penghianat”.
Kendati masih banyak yang menggadang-gadangkan Prabowo sebagai salahsatu kandiddat kuat capres 2024, terutama oleh sejumlah pengamat dan lembaga survei, namun sulit untuk dipungkiri bahwa sekarang kharisma dan popularitas Prabowo memang sudah banyak tergerus, dan itu disebabkan oleh ulahnya sendiri.
Kecuali dari partainya sendiri, sepertinya Prabowo akan sangat sulit kembali mendapat simpati dari para mantan pendukungnya di 2024 yang sekarng kadung sudah kecewa dan menganggapnya sebagai “pengkhianat”.
Kalau demikian realitasnya, maka pertanyaan yang kemudian menggelitik diajukan adalah; apakah dengan menduetkan Jokowi-Prabowo di 2024 akan menjamin akan menghilangkan polarisasi di tengah-tengah masyarakat? Siapa yang bisa memastikan?
Tentunya, sangat naïf jika pertanyaan di atas dianggap selesai hanya dengan mendengar jawaban dari seorang Qodari dan justifikasi dari lembaga surveynya yang sudah pasti begitu bernafsu mewujudkan wacana Jokowi-Probowo (Jokpro) 2024 itu.
Kesimpulannya, gagasan Qodari yang diduga kuat inkonstitusional dan irrasional itu bukanlah formulasi solutif, melainkan hanya ekperimen politik yang propokatif. Apalagi Jokowi sendiri sudah berulang kali menyampaikan penolakan terhadap usulan perpanjangan masa jabatan presiden.
Jika memang ingin menghindari polarisasi politik yang terjadi di tengah masyarakat, maka mulailah untuk objektif mendiagnosa penyebabnya dan jujur mencari solusinya. (*)
Saya kira setiap gagasan sebagai anggota masyarakat yang demokratis perlu dihargai.
Polarisasi politik setiap individu warga bangsa sangat berbeda- beda. Masyarakat Indonesia yang dikategorikan negara berkembang, negara dunia ketiga masih sangat penting membangun Ketahanan Nasional dan membangun kekuatan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
Terimakasih.