TAJDID.ID~Medan || Akademisi FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar menaggapi Menteri Koordinator Politik Hukam dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menilai korupsi di Indonesia sekarang ini makin parah, dan menyebut perguruan tinggi menjadi salahsatu terdakwa utama yang harus dimintai pertanggungjawabannya. (Baca: Korupsi Makin Parah, Mahfud MD: Perguruan Tinggi Harus Ikut Tanggungjawab)
Shohib mengatakan, selain sebagai apologi tak sehat atas dosa rezim, yang dirinya (Mahfud MD-red) ada di dalamnya, tentang korupsi yang makin merajalela di Indonesia, Mahfud MD secara tak sadar telah menstimulasi perguruan tinggi untuk atas dasar nilai akademik berani melakukan koreksi terhadap pemerintah,”
“Disadarinya atau tidak, apologinya itu lebih bermakna sebuah signal mendorong radikalisasi dunia akademik untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah, ketimbang sebagai teguran penyadaran dan tagihan tanggung jawab kepada perguruan tinggi,” ujar Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut ini, Rabu (26/5).
Menurut Shohib, tidak ada tradisi korupsional yang dibawa oleh alumnus perguruan tinggi ke lapangan kerja pasca wisuda.
Malah, katanya, setiap alumnus dipastikan selalu menderita batin karena harus bekerja dalam iklim koruptif yang amat sistemik, terlebih di birokrasi pemerintah.
“Apalagi di tengah kelangkaan lapangan kerja seperti sekarang,” katanya.
Shohib mengungkapkan, tntuk survive dalam pekerjaannya para alumnus itu harus adaptif. Berdamai dengan korupsi dan segala macam penyimpangan itu menjadi pilihan tunggal, terutama di dalam birokrasi pemerintahan, jika tak mau menjadi musuh bersama.
“Karena itu, Mahfud MD salah alamàt meminta tanggungjawab pereguruan tinggi. Dalam jabatannya sebagai Menkopolhukam, apalagi dihubungkan dengan latar belakang jabatan guru besarnya, sebetulnya Mahfud MD terlalu miskin inisiatif dan karya untuk ikut membuat Indonesia lebih baik. Sejarah pasti akan mencatatnya,” sebut Shohib.
Sebelum periode rezim ini berakhir, Shohib mengingatkan Mahfud MD, bahwa ia masih memiliki kesempatan untuk menciptakan legacy bagi rakyat yang melindungan keadilan, kemakmuran dan minimnya korupsi.
“Mahfud MD pasti tahu iklim anti demokrasi dalam perguruan tinggi di Indonesia yang tak hanya terlihat dari regulasi suksesi kepemimpinannya. Faktor itu menjadi hulu dari iklim ketidakramahan kehidupan kampus sebagaimana bisa dilihat dari nasib seorang Guru Besar Pancasila, Suteki,” ungkap Shohib.
Hendaknya, kata Shohib, nasib Profesor Suteki tidak perlu membuat takut para Guru Besar yang beberapa hari belakangan ini mengoreksi kesalahan KPK soal Test Wawasan Kebangsaan dan meminta Presiden Jokowi melakukan sesuatu untuk menyelamatkan KPK yang ditimpa krisis sejak dipimpin Firli Bahuri.
“Profesor Deliar Noer pernah mengalami perlakuan buruk rezim, namun namanya di dunia internasional tetap dikenang,” tutup Shohib. (*)