Memperkirakan Dampak
Jika nanti rencana itu benar-benar terwujud, konon dibayangkan penduduk Medan dan sekitarnya sungguh akan ‘beruntung’. Karena hingga saat ini hanya 3 kota lain yang mendapatkan perhatian serupa dari pemerintahan Nasional, yaitu Jabodetabekpunjur yang menggabungkan Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Mamminasata yang menggabungkan Makassar dan daerah-daerah sekitarnya. Proyek Sarbagita akan menggabungkan kota Denpasar dan daerah-daerah sekitarnya.
Tetapi penduduk Medan dan sekitarnya juga akan sangat berpotensi untuk beroleh dampak serius yang luas. Mengapa begitu? Gambaran tentang tanda-tanda akan hadirnya berbagai masalah sudah terlihat. Kepala Bappeda Sumatera Utara Riadil Akhir, misalnya, pernah berkata demikian “Beberapa waktu lalu kami dikejutkan banjir di Medan, padahal sebelumnya belum pernah banjir. (https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/2679).
Rupanya perkembangan proyek Mebidangro sudah menunjukkan indikasi negatif yang dalam waktu yang belum terlambat masih saja tentu bisa direncanakan lebih humanis. Tetapi satu hal yang pasti terasa sekali rencana besar ini tak boleh mengabaikan pencarian solusi makroskopik.
Perlulah dicatat di sini desakan moral yang telah muncul dari berbagai kalangan yang menginginkan orientasi RTR Mebidangro berbasis ekosistem dan DAS, tidak hanya perkotaan saja. Tentu saja juga UU Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 harus dirujuk dengan kecermatan yang tinggi, dan lain-lain.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya telah lama menjadi perbincangan para analis di seluruh dunia tentang sifat perencanaan kota yang selalu dihadapkan pada berbagai masalah besar, terutama di kota berukuran kecil dan menengah yang dapat dianggap miskin melalui beberapa kriteria. Kriteria itu antara lain ialah tingkat sosial ekonomi mayoritas penduduk, rendahnya tingkat investasi publik, kualitas administrasi lokal yang lemah, dan dalam keadaan seperti itu menjadi semakin begitu sempurna untuk memperbesar ketergantungan yang meniscayakan kepada donor eksternal yang lazim dijuluki investor. Semua itu bernada tudingan yang terlalu berambisi untuk mengesahkan Hasrat kapital. Janganlah lupa bahwa investor adalah penamaan sepihak untuk mekanisme penggerusan keuntungan dari wilayah yang dieskploitasi atas nama modal meski selalu dilabeli pembangunan bertema kesejahteraan rakyat.
Salah satu alasan utama dalam kemisteriusan ini adalah bahwa filosofi dan metode perencanaan kota yang diterapkan pada konteks khusus seperti ini ialah bahwa sesungguhnya secara langsung semua konsep dan pemikiran serta tujuan utanma adalah sesuatu yang direproduksi dari tradisi Barat. Orang akan tersunglap memelorotkan daya nalar dan secara permisif menerima esensi rencana perubahan yang dipaksakan meski sangat tidak sesuai dengan konteks lokal dan nasional dalam hal kebutuhan, prioritas dan organisasi masyarakat, apalagi dari segi sumber keuangan dan pembiayaan.
Ini adalah dilemma ajeg proses perencanaan kota yang bersifat eksogen, dalam arti tidak benar-benar sesuai dengan permintaan masyarakat, tidak juga dengan sumber daya manusia, material dan keuangan kota, dan oleh karena itu seyogyanya lebih baik menjadi akan sangat jarang diterapkan dalam sebuah negeri yang memiliki tingkat kemandirian yang benar karena kepemihakan atas kepentingan maslahat rakyat. Penyimpangan dan pengingaran serius ini sagat mudah dijelaskan ketika kita mengetahui bahwa tata kota dalam desainnya, dimulai sebagai bagian dari kerangka kerja sama antara pemerintah pusat dan investor asing atau yang terkadang diplesetkan dengan istilah donor asing.
Diagnosis awal pastilah dibuat oleh profesional berkualitas tertentu tetapi terputus dari administrasi lokal dan realitas sosial lainnya. Padahal pertimbangan semacam itu adalah kebutuhan moral dan praktikal yang harus dipenuhi. Tetapi faktanya, rencana yang dibuat dalam konteks ini tidak dimaksudkan untuk keberfungsian sehat untuk memandu otoritas lokal dalam pengembangan wilayah perkotaan saat ini dan pada masa depan. Juga bukanlah sesuatu yang boleh disebut merupakan instrumen dialog antara pihak berwenang dan penduduk lokal.
Sebaliknya, setiap konsultasi dengan komunitas yang tidak menghasilkan kesepakatan dan kompromi dari persilangan keras yang diharapkan pastilah akan selalu memperkuat ketidakpercayaan, atau bahkan pembangkangan terhadap kekuatan publik, politik, dan administratif. Risiko yang lazim adalah pengorbanan demi pengorbanan atas keluhuran pengakuan atas hak-hakl rakyat. Tetapi paling-paling, rencana-rencana, yang kehilangan esensi utamanya sebagai gerak besar untuk tujuan kesejahteraan rakyat, menjadi alat promosi, produk pemasaran murni, katalog teknis atas niat komunitas-komunitas yang tidak punya uang atas belas kasihan para investor, baik itu badan kerja sama negara atau luar negeri.
Berbagai pengalaman di dunia telah membuktikan bahwa distorsi tata kota senacam ini benar-benar merusak keterpaduan proses, baik dalam menetapkan prioritas infrastruktur dan peralatan yang akan diwujudkan, di bidang ekonomi dan sosial yang selalu secara formal diunggulkan. Tidak ada lagi yang bisa diprogram, karena semua pekerjaan diselesaikan tergantung pada pemberi dana eksternal tadi, tanpa kesinambungan, tanpa prinsip keterpanduan, dan tanpa jaminan yang memungkinkan segala sesuatunya akan selesai tepat waktu happy ending, malah sebaliknya berpotensi menciptakan disorganisasi jangka panjang.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman ini dan dalam perbandingan dengan penelitian lain tentang pembangunan perkotaan di kota-kota Afrika terasa harus dipertimbangkan kembali semua ini dengan kerelaan sepenuhnya. Substansi terpenting (yang terlalu sering diabaikan) adalah memulai dari diagnosis partisipatif atas situasi kota yang sebenarnya diperiksa dalam berbagai dimensinya, baik demografis dan spasial, infrastruktur, tetapi juga ekonomi, sosial dan lingkungan, yang memungkinkan semua pemangku kepentingan terfasilitasi dengan sehat untuk memosisikan diri mereka sendiri (Jean-Claude Bolay, 2020).