Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Anda masih ingat Ahmad Albar dari band Gong 2000 yang memberi judul salah satu lagunya “Rumah Kita?”
Hanya bilik bambu tempat tinggal kita. Tanpa hiasan, tanpa lukisan. Beratap jerami beralaskan tanah. Namun semua ini punya kita. Memang semua ini milik kita sendiri.
Hanya alang-alang pagar rumah kita. Tanpa anyelir, tanpa melati. Hanya bunga bakung tumbuh di halaman. Namun semua itu punya kita. Memang semua itu milik kita sendiri
Haruskah kita beranjak ke kota. Yang penuh dengan tanya? Lebih baik di sini, rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa. Semuanya ada di sini. Rumah kita.
Perluasan wilayah kota adalah hal yang umum terjadi di dunia. Satu segi dapat dilihat sebagai salah satu gejala urbanisasi. Kota-kota semakin dipadati oleh orang-orang yang terdorong (push) dari pedesaan menuju harapan hidup baru (pull) di perkotaan.
Dengan begitu, sebetulnya ada segi lain dari gejala perluasan wilayah kota, salah satu di antaranya ialah bertambahnya beban pemerintahan kota. Orang-orang yang merasa akan beroleh keberuntungan di kota datang dari desa-des dengan bekal yang tidak memadai. Kota akan menambah masalah sosial yang tidak selalu mudah ditanggulangi (gelandangan, tuna wisma, pengemis, kriminal, dan lain-lain).
Tentu saja perluasan wilayah perkotaan dapat juga sebagai bukti atas kesenjangan pembangunan. Bahwa sekiranya orang desa merasa aksesnya terhadap pembangunan cukup besar, tidak ada alasan buat mereka untuk beranjak ke kota.
Dalam kajian ilmu sosial bahkan Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam karya terkenalnya (Muqaddimah) sudah menegaskan polarisasi itu yang kemudian diikuti oleh ilmuan abad 19 seperti Ferdinand Tonnies dengan konsepnya gemeinschaft (masyarakat desa) dan gesellschaft (masyarakat kota); atau Emile Durkheim dengan konsep solidaritas mekanik dan solidaritas organik.