Obsesi Indonesia
Sejarah perang atas narkoba sudah berusia cukup Panjang di Indonesia namun hasilnya sukar untuk dibanggakan, jika tidak dipenuhi oleh catatan buram belaka. Kini bahkan Indonesia dipandang sebagai salah satu surga bagi pecandu dan pengedar
narkoba di dunia.
Era Presiden SBY
Di Indonesia pernah ada sebuah gambaran optimisme yang belakangan amat tak berdasar, ketika tahun 2011 Jenderal Polisi Gorris Mere diberi amanah untuk memegang kendali pemberantasan narkoba. Waktu itu ia menegaskan bahwa BNN meyakini Indonesia akan bebas dari narkoba pada tahun 2015.
Ini katanya: “Setelah berhasil menyusun Jakstranas P4GN ini kami meyakini bahwa pada tahun 2015 negara Indonesia bebas narkoba”.
Pencapaian Indonesia Bebas Narkoba Tahun 2015 ditentukan oleh sejauh mana seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara secara bersama untuk mengakselerasikan program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
Apakah yang kita saksikan dan kita alami sekarang sesuai dengan janji? Menurut Presiden SBY waktu itu, salah satu faktor kesulitan ialah masyarakat kurang bisa membedakan mana yang tergolong sebagai korban, siapa-siapa yang dikatakan sebagai penjahat narkoba9, meski pun sebenarnya hulu masalah bukan pada klasifikasi itu, meski pun memang itu sangat diperlukan.
Lebih dari itu, malah ucapan Presiden SBY tampaknya hanya sebuah argumen legitimasi politik atas pelunya lembaga rehabilitasi untuk pengguna, bukan perang melawan narkoba. Tampak scenario dikendalikan kekuatan jaringan yang berada pada kendali pihak asing.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tahun 2013 Presiden SBY berucap satu masalah di tengah masyarakat, yakni sulitnya membedakan mana pengguna atau pencandu dan mana penjahat narkoba. Ungkapan itu kemudian dicurigai mengarah pada sebuah permissiveness (pemaafan) untuk merealisasikan pembentukan badan khusus penyelenggara rehabilitasi korban narkoba (pecandu), dan ini adalah perintah UU Nomor 35 Tahun 2009 (pasal 54, 55, 103 dan 127) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 4 Tahun 2010. Meski pun bagi saya hal ini sangat terkesan sebagai sebuah pemanjaan bagi pecandu, sembari menjauhi pokok masalah yang sesungguhnya, tetapi kelihatannya itu memang trend internasional, dan Indonesia tunduk pada trend itu.
Era Presiden Joko Widodo
Pada bulan Januari 2015 saat meresmikan Masjid Raya Mujahidin Pontianak-Kalbar, Presiden RI Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia berada dalam status darurat narkoba. Ada bahasa yang tegas dari Presiden:
“Tidak ada maaf bagi pelaku narkoba di negeri ini. Saya juga banyak tekanan dari sana dan sono. Tapi sekali lagi, kita memang berada pada posisi darurat narkoba”.
Presiden tahu bahwa dampak negatif narkoba tidak hanya merasuk ke lingkungan anak-anak muda, tetapi juga institusi-institusi.
Baik sekali pernyataan Presiden tentang darurat narkoba itu. Namun sesuatu yang darurat mestinya diikuti oleh langkah darurat pula. Sebagaimana ditunjukkan oleh Duterte, sikap nasional sebuah negaralah yang menentukan ritme dan jenis serta efektivitas perang terhadap narkoba.
Sukar dibayangkan adanya wilayah bebas narkoba tanpa sebuah sikap nasional yang melampaui kewibawaan regulasi biasa. Langkah kedaruratan itu yang ditunggu dari Presiden dan hingga kini tidak pernah muncul. Presiden Filipina Rodrigo Duterte terus-menerus menegaskan pembelaannya atas kebijakan “pembunuhan” yang diambilnya dalam memberantas peredaran narkoba di negara yang dipimpinnya. Duterte menyebut bahwa ancaman pembunuhan yang ditindak-lanjuti dengan tindakan tegas dan terukur merupakan langkah yang sempurna.
Hingga tahun 2016 saja tercatat telah lebih dari 3.700 orang yang diduga terlibat dalam peredaran maupun penggunaan narkoba tewas dibunuh di negeri itu. Angka itu tercapai hanya dalam hitungan beberapa bulan sejak Duterte memimpin meski mantan Wali Kota Davao ini mendapat sorotan dan bahkan kecaman dari dunia internasional. Sorotan dan kecaman setidaknya datang dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-bangsa, hingga lembaga internasional pembela hak asasi manusia. Duterte tak gentar dan bahkan semakin menjadi. Bandar yang menjadi target ratusan ribu menyerahkan diri. Duterte pun angkat bicara:
“Saya tak akan berhenti. Saya dapat pastikan itu. Saya tak akan berhenti sampai semua tuntas, sampai bandar narkoba terakhir di Filipina mati”.