Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Baru-baru ini, PSBB (Parsadaan Siregar, Boru dohot Babere), mewakili marga Siregar khususnya yang berasal dari wilayah Tapanuli Bagian Selatan mengeluarkan empat maklumat terkait Denny Siregar.
Inti dari maklumat tersebut adalah PSBB menganggap ulah dan provokasi Denny Siregar selama yang selama ini selalu memojokkan Islam, santri dan para Ulama, sangat bertolak belakang dengan Prinsip Marga Siregar dari Tapanuli Bagian Selatan.
Karena itu, PSBB memutuskan mulai dari sekarang tidak mengakui lagi Denny Siregar sebagai saudara semarga atau bagian dari Keluarga Marga Siregar, khususnya Siregar dari Tapanuli Bagian Selatan.
Terkait dengan hal tersebut, mengapa Deny Siregar dianggap aneh oleh Asosiasi Siregar?
Pertama, karena merasa deviasi profile yang dianggap tak begitu sesuai dengan karakter Siregar. Semua etnis dan marga umumnya memiliki karakter khas.
Kecenderungan-kecenderungan kuat yang dapat disebut menjadi sifat umum Siregar. Nah, dalam konteks ini muncul paparan dengan simpul wacana Siregar Partangga Na Sabolas (Siregar dengan anak tangga 11). Apa penjelasan filosofi ini?
Siregar itu memiliki karakteristik partangga na sabolas yang dapat diringkas dalam pepatah: Pantun hangoluan (1), teas (tois) hamatean (2), marbou (hou) laho tu tapian (3), ehem laho tu jabu (4), batuk laho tu sopo (5), pahae simanggurak (6), pahulu sitimpulon (7), tampak na do rantos na (8), rim ni tahi do na gogo (rim ni tahi do gogo na) (9), saongi dalan (10), ulosi tungko-tungko (11).
Kredo apa yang dikandung filosofi ini?
Pantun Hangoluan, Teas (tois) Hamatean. Nilai moralitas memiliki keniscayaan mutlak untuk kemaslahatan. Ini tidak bisa ditawar. Sosiobilitas seseorang bukan cuma ia harus dikenal di mana-mana, tetapi juga wajib menjadi bagian penting dan bahkan katalisator bagi dunia dan zamannya.
Ibarat sebuah perhelatan politik, Siregar dituntut tak cuma memiliki popularitas, tetapi juga elektibilitas. Kedua hal itu tentu amatlah berbeda. Seseorang bisa amat populer karena sesuatu atau berbagai hal, tetapi belum tentu disuka oleh sebanyak yang mengenal.
Ringkih dalam perilaku dan budi amat dipantangkan. Penerimaan atas norma dan mendukung segala kebajikan yang sudah ada tidak cukup, tetapi juga harus selalu inovatif ke depan, tidak berpangku tangan dan tanpa penghindaran dalam tanggungjawab sekecil dan sebesar apa pun. Jika seseorang akan berperilaku sebaliknya, itu artinya kiamat bagi dia (teas/tois hamatean).
Marbou (hou) di tapian, Ehem laho tu jabu, Batuk laho tu sopo. Tapian (tempat mandi) bisa difahamkan dalam simbol amat luas. Tetapi orang berbersih diri dan dengan tak mungkin tak membuka aurat. Berilah orang yang sedang dalam aktivitas itu sebuah kesempatan kecil untuk mengetahui kedatangan orang lain sehingga tak perlu melihat dan mengetahui bagian-bagian tubuh yang memang harus disembunyikan dari penglihatan orang lain. Aib orang mestilah dikubur dalam-dalam untuk kemudian menonjolkan kelebihan-kelebihannya yang pantas diwarta-luaskan.
Saat akan memasuki rumah (meskipun itu rumah sendiri) berilah salam. Ehem cumalah sejenis suara yang bahkan mungkin lebih sepele dari sign yang dipancarkan sebuah handphone saat kemasukan sms. Aktivitas yang amat privacy biarlah menjadi urusan non publik dan saat belum siap lebih baik orang yang ada di rumah menunda masuknya orang lain. Sikap yang sama dituntut bahkan saat memasuki sopo. Konsep sopo adalah gubuk yang berfungsi mengamankan perbekalan, peralatan dan mungkin juga persenjataan. Bisa saja seseorang sedang berada di situ. Tetapi entah siapa pun itu (boleh jadi seorang pencuri), Siregar menghendakinya untuk diberi kesempatan apakah akan lari atau mempersiapkan alasan apologies tentang mengapa ia berada di sopo itu.
Pahae simanggurak, Pahulu sitimpulon. Bepergian kemana saja mestilah memberi berkah dan perubahan. Ke hilir membawa sesuatu, ke hulu juga demikian. Ia tak boleh menjadi beban bagi orang dan zamannya. Sisi ini memang terasa lebih berkonotasi material. Jadi bedakanlah saat para pejabat turun ke daerah yang kerap menjadi amat merugikan daerah karena orang-orang lokal diwajibkan memberi persembahan korupsional. Partangga na sabolas mengutuk perilaku itu.
Tampak na do rantos na, Rim ni tahi do na gogo (rim ni tahi do gogo na). Masyarakat adalah sebuah pengelompokan sosial manusia degan kontrak tertentu atas dasar kesamaan nilai, norma, budaya dan lokalitas. Hidup yang penuh dinamika dan arus perubahan kerap membuat perbedaan-perbedaan di antara sesama warga. Hadapilah setiap orang sesuai kemauannya dan apa adanya serta tentu saja kesepakatan-kesepakatan diplomatik maupun kerjasama praktis lebih disukai. Hidup memang tidak untuk perang, tetapi tatkala perang itu menjadi satu-satunya jembatan untuk damai, maka partangga na sabolas meneguhkannya untuk ditempuh.
Saongi dalan, Ulosi tungko-tungko. Nilai yang sarat humanisme ini berintikan obligasi moral untuk mewujudkan maslahat umum. Jalan pun harus dipayungi agar tidak menjadi licin. Gundukan pun harus diberi tanda agar setiap orang terhindar dari mara bahaya.
Kedua, cetusan dari Siregar itu sebetulnya sesuatu yang tidak begitu mudah untuk dinyatakan. Namun respon Siregar atas masalah-masalah politik dan ekonomi nasional termasuk hukum, juga tercermin dari sikap itu. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU.