Oleh: Yola Sundari
Muhammadiyah selalu berdakwah dengan mendidik dan mengkader manusia yang prosesnya selaras dengan jati diri. Kecenderungan dan pilihan hidup masing-masing sehingga kader itu mampu tampil dan berperan sebagai manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Kader ini sering dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, mereka yang memilih menjadi kader dan tokoh bangsa. Kedua, mereka yang memilih menjadi tokoh umat Islam. Dan ketiga, mereka yang memilih menumbuhkan diri menjadi kader tokoh organisasi Muhammadiyah.
Diantara mereka yang tumbuh menjadi kader dan tokoh bangsa adalah Ir Haji DjuandaKartawijaja.
Ir Djuanda lahir dari keluarga ningrat yang taat. Beliau merupakan kelahiran Tasikmalaya 14 Januari 1911 dari keluarga ningrat Sunda. Sehingga untuk menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi bukan hal yang sulit untuk ia lakukan, mengingat beliau berasal dari keluarga yang berkecukupan.
Pengabdian kepada Muhammadiyah
Padatahun 1933 sampai dengan tahun 1937 Ir Djuanda mengabdikan diri menjadi guru di SMA Muhammadiyah Jakarta. Djuanda saat itu ditawari menjadi dosen di ITB, tetapi beliau lebih memilih menjadi guru di SMA Muhammadiyah Jakarta yang tentu gajinya jauh lebih kecil dari pada ia menjadi dosen. Beliau juga dipercaya oleh Institusi SMA Muhammadiyah Jakarta untuk menjadi kepala sekolah. Beliau dikenal sebagai pegawai teladan yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya.
Selepas menjadi guru dan kepala sekolah Muhammadiyah, kemudian beliau menjadi pegawai di Jawatan Irigasi Jawa Barat, kemudian berpindah di lembaga DPU di Jawa Barat.
Menjelang Indonesia merdeka, Djuanda juga memimpin peralihan jawatan Kereta Api dari kekuasaan Jepang ke Indonesia. Setelah itu Djuanda dipercaya menjadi menteri antara tahun 1946 sampai dengan 1963 awal Indonesia merdeka hingga sebelas kali.
Memperjuangkan Kemaritiman Negara Indonesia
Nama Djuanda Kartawijaja paling diingat karena “Deklarasi Juanda” yang sangat penting bagi penyatuan laut di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, Juanda menjabat sejumlah posisi penting di Pemerintahan, mulai dari Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan hingga Perdana Menteri pada tahun 1957.
Saat menjabat Perdana Menteri inilah, DJuanda merintis penyatuan laut Indonesia. Sebelum tahun 1957 batas wilayah laut Indonesia masih diatur oleh Ordonansi Hindia Belanda pada tahun 1939.
Dalam aturan tersebut, pulau-pulau di wilayah nusantara dipisahkan oleh laut dan setiap pulau hanya berhak atas 3 mil wilayah perairan yang diukur dari garis pantai. Kapal asing pun bebas berkeliaran di antara pulau-pulau yang mengancam kedaulatan wilayah Indonesia.
Karena itu tanggal 13 Desember 1957 Kabinet Karya dibawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda, mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai “DeklarasiDJuanda:.
Berikut ini isi dari Deklarasi Djuanda:
- Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
- Bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan.
- Ketentuan Ordonansi 1939 tentang ordonansi,dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu
tujuan :
- Untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat.
- Untuk menentukan batas batas wilayah NKRI sesuai dengan azaz negara kepulaun.
- Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanandan keselamatan NKRI.
Pada saat itu, “Delarasi Djuanda” mendapat penolakan dari dunia internasional. Namun Indonesia terus berjuang mempertahankan idealisme Maritim nya , pada Konvensi hukum laut internasional United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) pertama di tahun 1958.
Seterusnya Indonesia terus memajukan “Deklarasi Djuanda” di konvensi Internasional tersebut, lalu pada 1982 (UNCLOS ke 4 di New York ) PBB memberikan kewenangan untuk Indonesia memperluas kedaulatan wilayah laut dan juga udara dengan segala ketetapan yang mengikutinya seperti batas laut teritorial 12 mil,batas zona bersebelahan 24 mil,dan batas Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil.
Untuk terus menghidupkan semangat “Deklarasi Djuanda”, pada tahun 2001 tanggal 13 Desember ditetapkan sebagai Hari Nusantara.
Djuanda kemudian dianugerahi gelar Pahlawan tahun 1963. Dan untuk mengenang jasa-jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya Djuanda di Bandung dan BandaraDjuanda di Surabaya.
Ir Djuanda adalah orang yang professional dalam pekerjaannya, meskipun ia bekerja di dunia politik tetapi beliau merupakan sosok yang non partai dan luwes karena organisasi yang beliau ikuti hanya dua yaitu Paguyuban Pasundan dan Muhammadiyah.
Ir Djuanda adalah Arsitektur lulusan ITB non partai non partisan yang bersikap luwes kemudian dikenal sebagai politisi yang hebat.
Tampak jelas dari uraian di atas bahwa Ir Djuanda telah sukses dalam memilih jalan hidup yakni menumbuhkan diri dan tampil sebagai tokoh hebat bangsa Indonesia dari pengalamannya berbakti di Muhammadiyah.
Pendidikan beliau yang sejatinya dibidang teknik ITB, namun nyatanya memilih menjadi guru di SMA Muhmmadiyah, kemudian dikenal sebagai politisi yang berani mempertaruhkan apapun termasuk jiwa, harta dan segala kemampuannya untuk kejayaan bangsa dan negara Indonesia. (*)
Penulis adalah Mahaswi ITB Ahmad Dahlan Jakarta