TAJDID.ID || Ketika ancaman pandemi virus corona (Covid-19) masih menghantui di seluruh dunia, baru-baru ini ada kabar baik dimana Pfizer dan mitranya perusahaan Jerman BioNTech, mengumumkan hasil awal, bahwa vaksin mereka lebih dari 90 persen efektif. .
“Hari ini adalah hari yang luar biasa bagi sains dan kemanusiaan. Kumpulan hasil pertama dari uji coba vaksin COVID-19 tahap 3 kami memberikan bukti awal kemampuan vaksin kami untuk mencegah COVID-19, ”kata Dr. Albert Bourla, Ketua dan CEO Pfizer dalam pernyataan yang dipublikasikan di situs web Pfizer.
Alber Bourla menuturkan, bahwa mereka mencapai tonggak penting dalam program pengembangan vaksin pada saat dunia sangat membutuhkannya dengan tingkat infeksi yang membuat rekor baru, rumah sakit yang hampir kelebihan kapasitas dan ekonomi berjuang untuk membuka kembali.
Seperti dilaporkan The Guardian, BioNTech dimulai pada tahun 2008 di kota Mainz Jerman di negara bagian barat Rhineland-Palatinate oleh tim ilmuwan suami-istri Ugur Sahin (55), kepala eksekutif perusahaan dan istrinya Ozlem Tureci (53), bersama dengan Christoph Huber, seorang ahli kanker.
Dari laporan itu terungkap, bahwa Sahin dan Tureci adalah anak-anak imigran Turki yang pindah ke Jerman pada akhir 1960-an.
Pasangan ini mendirikan perusahaan pertama mereka, Ganymed Pharmaceuticals pada 2001 yang mengerjakan pengobatan kanker imunoterapi, dan menjualnya pada 2016 seharga € 422 juta (£ 381 juta, $ 502 juta).
Pada tahun 2008, mereka memulai BioNTech untuk fokus pada penggunaan obat messenger RNA (mRNA) untuk imunoterapi kanker.
“Dipengaruhi oleh ayah saya, yang bekerja sebagai dokter, saya tidak dapat membayangkan profesi lain bahkan ketika saya masih muda,” kata Tureci kepada situs wissenschaftsjahr.
Tidak seperti vaksin tradisional yang lazimnya bekerja dengan memasukkan dosis virus atau bakteri yang lemah atau tidak aktif ke dalam tubuh untuk membuat sistem kekebalan menghasilkan antibodi, vaksin m-RNA bekerja dengan mentransmisikan kode genetik ke sel yang menyuruh mereka menghasilkan protein, yang pada gilirannya mengaktifkan sistem kekebalan tubuh.
“Dia (Sahin) adalah orang yang sangat sederhana dan rendah hati. Penampilan tidak berarti baginya. Tapi dia ingin menciptakan struktur yang memungkinkan dia untuk mewujudkan visinya dan di sanalah aspirasi jauh dari sederhana,” ujar Matthias Theobald, seorang profesor onkologi di universitas Mainz yang telah bekerja dengan Sahin selama 20 tahun, kepada Reuters.
Dikutip dari Reuters, keduanya (Sahin dan Tureci) adalah anak “pekerja tamu” alias “Gastarbeiter” yang didatangkan dari Turki untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Jerman pada 1960-an. Sahin lahir di bagian utara Turki kemudian pindah ke Kota Cologne saat berusia empat tahun. Sedangkan Tureci lahir di Saxony.
Keduanya bertemu saat menempuh pendidikan di Saarland University di Homburg dan menikah pada 2002. Saking seriusnya melakukan penelitian, keduanya memulai hari pernikahan masih dalam mantel laboraturium dan melanjutkan penelitian setelah pernikahan selesai.
Saat ini dunia menanti keampuhan vaksin yang digagas dua putra-putri imigran Turki tersebut. Terutama di tengah sorotan sebelah mata terhadap kehadiran mereka di negara-negara maju Eropa.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) telah menetapkan standar kemanjuran 50 persen bagi pembuat vaksin yang ingin mengajukan calon mereka untuk otorisasi darurat.
Jika hasil awal dari Pfizer dan BioNTech terbukti – dan secara akurat mencerminkan bagaimana vaksin akan bekerja di dunia nyata – maka itu jauh lebih protektif dari pada itu.
Menurut statistik resmi Jerman pada 2014, Muslim membentuk kelompok agama minoritas terbesar di negara itu dengan sekitar 4,7 juta orang, mewakili sekitar 5 persen dari populasi Jerman.
Lebih dari separuh Muslim di Jerman, sekitar 63,2 persen, berasal dari Turki dan Kurdi. (*)