Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Apa agamamu, Saudaraku? Bagaimana ajaran agama kalian tentang korupsi, penindasan, dan ketidak adilan?
Itu satu contoh yang membuktikan SARA itu tidak sama dengan ancaman bahaya yang selalu didahsyatifikasi oleh pejabat-pejabat negara.
Mungkin juga dialog SARA yang cerdas tiba pada pertanyaan di antara sesama pemeluk agama yang berbeda demikian “adakah ajaran tertulis atau kehendak dalam agama Saudaraku untuk memasukkan pemeluk agama lain ke dalam agama Saudaraku, atau setidaknya membuat mereka tak begitu peduli dengan ajaran agamanya, agar mereka lemah, dan jika ada bagaimana rencana dan tindakan peminpin agama kalian untuk itu?”
Tak terlarang juga bertanya pandangan agama masing-masing tentang pernikahan lain agama. Apa salahnya mendiskusikan mengapa di dalam kelaziman pemeluk agama pemberian nama bagi anak selalu dianggap paling utama jika diambil dari kitab suci.
Lembaga umum seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain sampai partai politik juga dianggap begitu sakral berbasis agama. Semua itu bukanlah fakta kebetulan, dan mendialogkannya adalah sebuah kebutuhan selama pluralitas masih menjadi karakter dunia.
Mungkin kita tak sepiawai Pendeta keturunan Mesir bernama Rukunuddin yang menantang Zakir Naik untuk menduskusikan tema berat seperti “Benarkah Jesus Disalib”. Tetapi banyak tema keseharian ke-muhibbah-an yang bisa didialogkan penuh keakraban sesama warga negara.
Karena ini musim pilkada, dialog SARA juga sangat bermanfaat untuk membincangkan kecenderungan- kecenderungan umum dalam pilihan politik.
Mengapa pemimpin agama dan politisi serta pemeluk agama kalian lebih condong dan terasa berprinsip fanatik harga mati memilih pasangan figur itu dan bagaimana benang merah sikap itu dengan ajaran agama dan keuntungan politik pragmatis yang diperhitungkan dalam komunitas agama kalian?
Pada gilirannya menang dalam tarung politik tidak menghalalkanmu bersewenang-wenang menindas wargamu yang berbeda agama dan keyakinan politik. Kau harus adil, karena Tuhanmu memerintahkanmu begitu.
Karena itu sadarlah, jangan tabukan diskusi bernilai real super high political obsession seperti itu dengan tuduhan bersifat munafik berkadar berat, antara lain dengan berkata “jangan mainkan politik identitas”.
Berhenti membodohi itu sesuatu gerakan politik suci berketuhanan yang belum dimulai meski pun wakil-wakil pelaksana perang salib (Eropa pengusung 3 G) versi lain sudah lama diusir. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU
Baca tulisan-tulisan menarik dari Shohibul Anshor Siregar di rubrik KUPASAN