Sebetulnya tanpa wacana penghapusan mata pelajaran sejarah yang mendapat reaksi luas dari banyak kalangan itu, sejarah Indonesia bukan tak memiliki masalah besar.
Sejarah Indonesia itu ditulis dengan bobot politik yang tidak netral sehingga tak hanya sekadar merugikan melainkan telah menyebabkan penyesatan pengenalan terhadap jatidiri bangsa yang sesungguhnya.
Mungkin orang kerap memahami sejarah sekadar keterangan tentang penggalan masa lalu, waktu, tempat dan pelaku kejadian masa lalu. Lebih dari itu sejarah seyogyanya bisa menjawab penggalan masa proyektif kehidupan ke depan.
Contoh, sejarah seyogyanya sangat bisa menjelaskan mengapa 75 tahun Indonesia merdeka tak mampu swasembada pangan, pemetintahnya terus gandrung bicara hayali dan menyesatkan tentang daya saing (competitiveness) padahal secara paradoks terus memupuk ketergantungan politik, ekonomi, ilmu dan teknologi. Sejarah yang benar akan memberi cambukan berdarah-darah bagi suatu bangsa yang tetap berharap dijajah oleh bangsa lain yang tercermin begitu jelas dalam formula kebijakannya.
Sebagai milik pemenang dalam rivalitas politik, ekonomi, teknologi, agama dan budaya, sejarah selalu sarat dengan indoktrinasi kebohongan untuk memaksa pihak yang kalah tak memiliki modalitas dan keberanian moral untuk berdiri tegak dengan kepala yang lurus.
Untuk kasus Indonesia setelah kepergian semua bangsa penjajah sejarah pun tak sedikit beroleh disain dan perumusan distortif. Misalnya ada dikhotomi sejarah nasional dan sejarah lokal. Nasional itu dipandang amatlah penting dan secara politik itu artinya Jawa. Berat sekali menegosiasikan kebijakan untuk menyadarkan elit dan rakyat Indonesia tentang bobot nasional dari sejarah yang dikategotikan sebagai sejarah lokal itu agar menjadi “milik” nasional.
Hal lain yang serius lainnya ialah tendensi yang mengarah untuk menafikan fakta kebesaran masa lalu yang berakar pada peradaban Islam. Lazimnya Hindu dan Buddha akan ditempatkan sebagai peradaban saingan yang dikesankan malah amat jauh lebih superior.
Periksalah terminologi birokrasi, pemetintahan dan politik. Sanskerta akan beroleh kedigdayaannya yang luar biasa.
Melengkapi upaya itu kebijakan dalam bahasa pun secara sistematik digencarkan untuk menggusur Islam dari makom yang semestinya. Hilangnya pelajaran Arab Melayu dari kurikulum secara ngotot akan dianggap sebagai keniscayaan kebangsaan. Padahal bangsa ini adalah bangsa Islam atau yang dalam hal peradabannya meniscayakan Islam sebagai determinan kunci dan yang utama.
Periksalah sila pertama Pancasila yang dihasilkan Badan Penyelidik Usaha UsahaKemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dokumen itu (piagam Jakarta) tidak dihasilkan oleh voting, melainkan diskusi dan musyawarah yang amat akademis dan berbudaya sehingga orang beragama lain dan sekuler dengan senanghati dan lapang dada menerima “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi sila pertama Pancasila.
Kita tahu BPUPKI itu bentukan Jepang dan berada di bawah supervisi (kalau bukan intimidasi) Jepang. Namun para the founding persons mampu menghasilkan rumusan karakter genuine Indonesia dalam Pancasila itu.
Karena itu jika benar pelajaran sejarah itu akan dihapuskan, maka negeri ini sedang digiring ke pembantaian yang sadis.
Padahal alih-alih menghapuskannya, bahkan ke depan negara wajib mengalokasikan ratusan triliun rupiah untuk perumusan ulang sejarah untuk melenyapkan distorsi yang selama ini membelokkan kesadaran atas jati diri bangsa dan masa depan yang wajib diraihnya sebagai hak.
Orang-orang daerah yang tertorbit secara politik atau melalui jalur political ponty menjadi bagian dari pembijaksana nasional yang berkedudukan di Jakarta, hendaknya sadar bahwa mereka mewakili daerah dan keoentingan daerah. Jangan malah beroleh penyakit “amnesia daerah”.
Khususnya mereka yang dipilih untuk jabatan di DPR jangan terlalu kaku berhadapan dengan oligarki partai dan anggota DPD jangan gugup dan malu memoerjuangkan kepentingan daerah serta kebenaran dan kesahihan sejarah. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU