Aturan Teknis
Sejumlah pengaturan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan UU JPH hadir sangat terlambat atau bahkan hingga kini masih belum tersedia. Misalnya tentang ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagaimana disebutkan pada pasal 5 ayat (5), model kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait sebagaimana disebutkan pada pasal 11 yang memerlukan Peraturan Pemerintah.
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sesuai pasal 16; ketentuan mengenai lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) sebagaimana disebutkan pada pasal 21 ayat (3). Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana disebutkan pada pasal 22, tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana ditegaskan pada pasal 27 ayat (3), ketentuan mengenai Penyelia Halal sesuai pasal 28 ayat (4), tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal sesuai pasal 29 ayat (3).
Tata cara penetapan LPH sesuai pasal 30 ayat (3), ketentuan mengenai Label Halal sesuai pasal 40, tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sesuai pasal 41. Pembaruan Sertifikat Halal sesuai pasal 42, biaya sertifikasi halal sesuai pasal 44 ayat (3), pengelolaan keuangan BPJPH sesuai pasal 45 ayat (2).
Kerja sama internasional dalam bidang JPH sesuai pasal 46 ayat (3), tata cara registrasi Sertifikat Halal oleh lembaga halal luar negeri sesuai pasal 47 ayat (4). Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sesuai pasal 48 ayat (2), ketentuan mengenai Pengawasan JPH sesuai pasal 52, tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan sesuai pasal 55 dan ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat halal sesuai pasal 67 ayat (3), dan lain-lain.
Salah satu masalah yang kini jelas terlihat ialah bahwa kini jutaan jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia yang wajib disertifikasi halal terutama pangan, obat, kosmetik dan yang lainnya diasumsikan sedang menantikan terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) yang menjadi turunan UU JPH. Walaupun sebenarnya kriteria sertifikasi halal cukup sederhana, namun terdapat titik krusial yang harus dipahami.
Misalnya pelaku usaha yang memproduksi bahan baku yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Itu menuntut pengaturan rinci tentu saja. Selain itu yang disertifikasi adalah bahan dan proses produksi. Sedangkan bahan baku masih akan diatur lebih lanjut daftarnya melalui penetapan Menteri Agama. Penetapan itu wajib berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Setiap proses produksi memerlukan pemengujian. Begitu juga lokasi, alat produksi yang wajib terpisah dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk tidak halal. Kriterianya terdiri dari standar kebersihan dan higienitas, jaminan keterbebasan dari kontaminasi najis dan dari kontaminasi bahan tidak halal.
Jangan lupa, kesalahan yang dikategorikan sebagai tindak pidana menurut UU JPH diberi sanksi tegas atas sebagaimana dinyatakan pada pasal 56 (pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah).