Penjajahan secara de jure memang berakhir. Tetapi kemerdekaan bukan sesuatu yang serta-merta bisa dinikmati negara bekas jajahan. Agenda merujuk kepentingan nasional kerap tak terumuskan. Salah satu penyebabnya karena ketertundukan pada pengaruh asing dan oleh kegagalan mengkonsolidasikan kekuatan sendiri.
Juga tidak ada jaminan tak saling memangsa di antara negara. Bagaimana memahami “Tuhan yang baik tidak ingin menempatkan minyak dan gas hanya di tempat ada rezim demokratis yang bersahabat dengan Amerika Serikat” pada abad 21 yang diklaim sebagai era peradaban? Tetapi Martin Milinski telah mengutipnya ketika menulis “Designated State Terrorist Sponsor: a Comparison (2006)” untuk melukiskan betapa dunia selalu tidak sebaik yang diperkatakan.
Pokok sorotan dalam tulisan ini tertuju pada kisah Afrika. Sebuah benua bernasib “sial”. Benua hitam kaya yang dihisap semangat anti kemanusiaan, demi uang, yang menjadi sorotan bagi dua akademisi non Afrika. Dua tahun lalu (2017), kedua akademisi dari Republik Czech itu mempersembahkan sebuah buku berjudul “Colonialism on the Margins of Africa”. Buku terbitan Rouledge itu dicetak ulang tahun lalu (2018) untuk edisi kedua.
Kedua penulis non Afrika itu ialah Jan Záhořík, associate professor pada Department of Middle Eastern Studies, University of West Bohemia in Pilsen, Czech Republic. Sedangkan rekannya, Linda Piknerová, adalah assistant professor pada Department of Political Science and International Relations, University of West Bohemia, Pilsen, Czech Republic.
Negeri mereka maju dengan penghasilan tinggi, salah satu negara kesejahteraan (welfare state) model sosial Eropa. Layanan kesehatan universal dan pendidikan tinggi tanpa biaya. Negeri itu bertengger pada peringkat 15 dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM), berada di depan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. Negeri paling aman dan paling damai kesebelas dan berkinerja kuat dalam pemerintahan yang demokratis.
Lalu atas kepedulian apa mereka meneriakkan nasib Afrika yang diluluhlantakkan kolonialis Eropa? Tulisan ini menilai penting menangkap pesan inti dari “Colonialism on the Margins of Africa” dengan antara lain mengulas beberapa tulisan di dalamnya. Data-data dari karya Jan Záhořík yang lainnya dirujuk dalam tulisan ringkas ini.
Tak ada kesan sungkan mencatat (dalam buku ini) jejak kolonial yang kejam, yang membentuk nasib Afrika hari ini. Kolonial membuat peta Afrika, semaunya sendiri, untuk kepentingannya. Hanya seringan menggoreskan pena di atas kertas, kolonial itu memberi garis yang merubah segalanya bagi perbatasan baru di luar pengetahuan dan keinginan orang Afrika. Penjelajah atau apa pun namanya, dan juga tentara kolonial, berburu memasuki pedalaman benua untuk mengambil “kue Afrika” yang luar biasa.
Sampai di sini narasi Afrika adalah sejarah yang sama dengan Indonesia. Negeri yang secara bergantian beralih dari satu ke lain penjajah, Portugis (1512-1595), Spanyol (1521-1692), Belanda (1602-1942), Perancis (1808-1811), Inggris (1811-1816), dan Jepang (1942-1945).
Di bawah judul “Ethiopia and the colonial discourse” dijelaskan bahwa jejak kolonialisme di Afrika adalah perebutan wilayah kekayaan sumberdaya alam. Akhir abad 19 hampir seluruh benua itu telah dibagi menjadi milik Inggris, Prancis, Portugal, Spanyol, Italia, Jerman, dan Belgia yang menyebabkan sejarah modern Ethiopia menjadi wacana tunggal kolonial. Selain mempersulit pemahaman atas diri sendiri, juga sarat distorsi merendahkan yang akan selalu menjadi perdebatan sengit di ruang akademik.
Dekade pertama abad 20 memaksa Ethiopia memasuki modernisasi, tetapi, untuk kepentingan kolonial, tetap di bawah pengaturan berbeda satu sama lain di seluruh Afrika. Beberapa judul pembahasan dalam buku ini membagi fokus kepada Ethiopia, Somalia, Djibouti, Gambia, Tunisia, Ruanda-Urundi, dan Afrika Selatan (Bechuanaland, Basutoland and Swaziland).
“The great imperial game in the Horn of Africa and its impact on current political processes in Somalia” dikupas Katerina Rudincová dengan bidikan permainan kekaisaran besar. Pembagian wilayah yang dihuni orang-orang Somalia, serta penciptaan bentuk-bentuk administrasi kolonial yang berbeda, berdampak besar pada proses politik saat ini.
“Small but strategic: foreign interests, railway, and colonialism in Djibouti” ditulis oleh Jan Dvorácek dan Jan Záhorík. Ini ulasan khusus posisi spesifik wilayah Prancis kecil koloni benua terakhir di Afrika Sub-Sahara. Sorotannya pada lingkungan ekonomi, politik, dan etnis Djibouti saat ketegangan geopolitik tinggi.
Kepentingan asing dan posisi strategis serta kepentingan ekonomi Djibouti, terutama terkait dengan pembangunan jalur kereta api menghubungkan pelabuhan dengan interior Ethiopia. Tak perlu disangkal peran infrastruktur, tetapi tetaplah tunduk pada pemeliharaan kepentingan Eropa, bukan Ethiopia.
Topik “A small piece of Africa: forming the British colony of the Gambia” dibahas oleh Filip Strych. Konon, pedagang Inggris pertama di Gambia datang pada 1587. Misi penjelajahan akhirnya menguasai Pulau St. Andrew 1661 dan malah namanya pun diganti menjadi Pulau James. Kini berganti nama menjadi Kunta. Pada pertengahan abad 17 perdagangan budak menghasilkan jumlah uang paling besar dari semua aktivitas perdagangan dan ini adalah ajang kompetisi Inggris dan Prancis.
Gambia itu menjadi Republik setelah referendum (24 April 1970) dan Dawda Kairaba Jawara menjadi Presiden selama 5 periode. Rentetan torehan instabilitas mengindikasikan tak hanya kekeroposan internal tetapi juga intervensi mengabadikan penjajahan.
Buku ini memberi gambaran kerumitan daerah-daerah pinggiran yang, rupa-rupanya, memainkan peran penting dalam proses penjajahan Afrika oleh Eropa. Dengan keragaman faktor sosial-ekonomi, agama, bahasa serta politik, wilayah-wilayah dibagi oleh berbagai sistem administrasi dan politik dengan konsekuensi diksriminasi peluang ekonomi yang menjadi penentu jalan masa depan berbeda pada periode pasca-kolonial.
Bagaimana identitas nasional dibangun? Dalam bukunya yang lain “Citizienship, Identity and Heritage of Colonialism in Africa: the Example of Côte d’Ivoire (2017) yang secara khusus mengangkat kasus Pantai Gading, dan juga terkait dengan karyanya “Inequalities-Conflicts-Contemporary-African-History (2018)”, Jan Záhořík menelusurinya berdasarkan determinan warisan kolonial.
Setelah kemerdekaan, banyak negara di Afrika mengabadikan model kewarganegaraan kolonial berintikan jaminan hak istimewa minoritas dan marginalisasi mayoritas. Tak jauh berbeda dengan pemberlakuan kasta Eropa, Timur Asing dan Inlander (pribumi) semasa Indonesia di bawah penjajahan Belanda. Inilah determinan konflik kekerasan abadi Afrika hingga kini. Konstruk kewarganegaraan, identitas, dan etnis menjadi sarana konflik dalam dua dekade terakhir. Akarnya pada kolonialisme, penabur pertama ketidaksetaraan.
Jan Záhořík memastikan istilah etnisitas berawal pada upaya jangka panjang peradaban Eropa. Mereka butuh itu sebagai jawaban untuk kategorisasi “rasial” yang paling berkembang pada era kolonial. Fondasinya dibangun oleh antropologi pada peralihan abad 18-19. Identitas kewarganegaraan, asal dan identitas artifisial versi perselingkuhan yang menjerumuskan banyak negara Afrika ke dalam spiral kekerasan, hingga kini tetap memengaruhi semua komponen negara-bangsa.
Marjinalisasi, kurangnya akses ke sumber daya, dan partisipasi politik, sarat dengan fakta penyalahgunaan isyu untuk menerkam ketenteraman di bawah slogan “ketidaksetaraan etnis” yang dalam sisi lainnya mengancam “identitas nasional”. Minoritas mengontrol semua peristiwa, tak terkecuali pemilihan curang.
Pada masa kolonial gagasan negara di Afrika didikte Eropa dengan racikan dikotomi. Orang Eropa sangat yakin memiliki bangsa, yaitu “peradaban”, sedangkan Afrika disatukan sewenang-wenang dalam atribut “tidak beradab, primitif, dan terbelakang”.
Memberi perhatian kepada Afrika Selatan, Jan Záhořík memaparkan perbedaan penduduk asli dan bukan asli. Mobilitas penduduk asli terbatas, dan Afrika Selatan telah menjadi negara dengan jumlah tertinggi pembatasan dan undang-undang yang dibuat untuk mendiskriminasi penduduk asli.
Apartheid bertujuan mengatasi dominasi populasi kulit hitam karena menjadi ancaman nyata bagi minoritas kulit putih yang selama berabad-abad telah menstrukturkan seluruh masyarakat (ekonomi dan politik) berdasarkan kepercayaan perbedaan budaya. Hal itu dikukuhkan dalam sejumlah regulasi rasialistik sesuai UU tentang Pendaftaran Penduduk (1950), yang membagi penduduk menjadi 4 kategori (kulit putih, Asia, berwarna dan hitam).
Investigasi konflik kewarganegaraan, kata Jan Záhořík, adalah masalah interdisipliner yang mestinya berusaha lebih mengenali tema-tema warisan kolonial yang belum terjelaskan seperti hubungan migran dan pemukiman, masyarakat perkotaan atau pedesaan, dan perseteruan-perseteruan lainnya tentang negara dan kelembagaan lainnya.
Sejalan dengan itu “Identity, citizenship, and political conflict in Africa” (2014) yang ditulis E.J. Keller merefleksikan proses pembangunan bangsa dan pembentukan kewarganegaraan di Afrika, dengan asumsi bahwa meskipun beberapa identitas parokhial terlihat telah terkikis, ia tidak menghilang. Bahkan mungkin lebih tegas daripada yang diperkirakan sebelumnya, terutama dalam kasus konflik politik.
Keller mengajak mempertimbangkan kembali bagaimana identitas nasional telah dipahami di Afrika dan menyajikan pendekatan baru untuk politik identitas, hubungan antarkelompok, hubungan negara-masyarakat, dan gagasan kewarganegaraan nasional dan hak kewarganegaraan. Karya yang berfokus pada Nigeria, Ethiopia, Pantai Gading, Kenya, dan Rwanda ini berusaha meletakkan dasar bagi pemahaman baru tentang transisi politik di Afrika kontemporer.
Lantas. Bagaimana dengan Indonesia? (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU