
Mobilisasi
Dengan perubahan politik yang demikian drastis, dan dengan kekuasaan (fisik) dan persenjataan di tangan, dalam ketidak-mampuan negara memberi kesejahteraan kepada para prajurit, tentulah akan selalu ada masalah di setiap Negara seperti Indonesia. Dwi-fungsi ABRI sebagai masa keemasan militer secara resmi sudah diakhiri berikut dengan pemisahan TNI dan Kepolisian.
Tindakan-tindakan yang bersifat tidak transparan selalu masih ada dalam hal keswadanaan ketika Negara (APBN) tidak memberi budget yang cukup, terutama jika dibandingkan dengan Negara-negara lain, bahkan negara tetangga sekali pun. Tindakan-tindakan swadana bagi komponen-komponen dalam tubuh TNI hingga kini masih belum terselesaikan, dan sebuah tuduhan tentang ketidak-terpenuhan janji reformasi TNI selalu dianggap menjadi tanggungjawab Presiden sebagai panglima tertinggi.
Hal yang sangat perlu difahami dalam konteks reposisi TNI saat ini ialah nilai-nilai baru dalam Negara dengan supremasi sipil yang kuat yang harus diadaptasi termasuk sejak awal sosialisasi menjadi anggota TNI (doktrin) hingga pemeranan diri secara institusional dalam keseluruhan proses kenegaraan. Kewibawaan sipil di atas militer di Negara tertentu mungkin sudah dianggap sebagai hukum besi kenegaraan.
Tetapi di Indonesia dan di Negara-negara dunia ketiga lainnya, dengan sejarah militer yang demikian penting sejak zaman penjajahan, dan yang kemudian dilanjutkan pada era militerisme dalam babakan baru membangun pemerintahan sendiri setelah lepas dari penjajahan (Soeharto), tentulah sesuatu yang sulit untuk dirubah.
Kesulitan itu semakin nyata manakala sistem belum ditata baik serta political will untuk itu selalu mendapat interupsi, dan apalagi jika para perwira paling senior masih banyak yang terobsesi dengan peran-peran pada masa yang dianggap sebagai masa keemasan (sebelumnya).
Hariman Siregar dan kawan-kawan bukanlah pentolan-pentolan yang bergerak di luar penguasaan psikologis keterampasan masyarakat, sehingga gerakannya yang lebih dikenal dengan MALARI 74 begitu besar dan monumental. Perasaan ketidak-puasan dan keterampasan yang demikian besar menjadi jawaban mengapa mahasiswa dan para penggerak di balik kelompok itu bisa melakukan perubahan besar antara lain dengan memaksa turun Soeharto yang sudah berkuasa lebih dai 30 tahun.
Tidak dinafikan pendapat-pendapat yang menjelaskan peran-peran internasional seperti Amerika Serikat dengan jaringan-jaringan elitnya (terutama dalam militer) yang berusaha menata supremasi penguasaannya secara politik dan ekonomi degan agenda utama “mengusir” dominasi Negara lain di salah satu wilayah pasar dunia terbesar benama Indonesia.
Juga tidak mungkin diabaikan pendapat yang memberi analisis tentang rivalitas di antara perwira senior yang bekerja di sekitar tokoh tunggal superkuat Soeharto. Tetapi hal yang pasti ialah bahwa mobilisasi apa pun bentuknya tidak akan dapat menjurus kepada gerakan sosial dan pemberontakan jika faktor keterampasan tidak dirasakan oleh masyarakat.
Penutup
Agak lebih klasik, Ted Robert Gurr dalam bukunya “Why Men Rebel” (1970) menjelaskan bahwa kekerasan politik bervariasi sesuai dengan besaran dan bentuknya. Magnitudenya meliputi ruang lingkup (berapa banyak berpartisipasi), intensitas (sifat merusak), dan durasi. Formulasinya bisa meliputi tiga kategori yakni kekacauan, konspirasi, dan perang internal. Tentu saja gerakan sehebat apa pun selalu terbuka untuk dipatahkan oleh penguasa atau lawan tanding alami atau yang dipersiapkan.
Tetapi apa pun bentuknya memang sangat diperlukan memberi jawaban tuntas atas perikeadaan masyarakat. Karena itu, jika pemerintah semakin terbiasa dan semakin merasa benar berfikir sendiri untuk kepentingan kelompok dan rezimnya, maka jalan untuk sebuah kekacauan besar selalu terbuka.
Wacana resmi dan komunikasi melalui social media seperti facebook, twitter dan lain-lain, serta mengarahkan influencer dan buzzer, sama sekali bukan jawaban yang diperlukan. Karena yang diharapkan adalah perbaikan kehidupan.
Karena penjelasan mengapa tak terjadi kesejahteraan sudah ditemukan sendiri oleh masyarakat (antara lain menyerahnya pemerintah atas kedigdayaan korupsi).
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU