Pada Orde apakah kita hidup sekarang ini di Indonesia? Umumnya orang akan dengan ringan mengatakan Orde Reformasi atau Era Reformasi. Tetapi pernahkah kita pikirkan secara cermat apa sebetulnya esensi reformasi itu?
Setiap era ada awal dan ada akhirnya. Identifikasi atau penamaan setiap era diijtihadkan berdasarkan karakreristik yang menonjol pada setiap rezim.
Untuk penentuan awal reformasi semua orang seoakat menunjuk titik tolak waktu kejatuhan ORDE BARU. Tetapi jika dikatakan bahwa reformasi berlangsung hingga saat ini, sangat terasa ketidak cermatan mengidentifikasi tanda-tanda zaman.
Berdasarkan pemikiran itu reformasi sebetulnya sudah berakhir saat amandemen UUD 1945 telah dirampungkan pada tahun 2002. Sistem polotik dan ketatanegaraan selesai perombakannya pada tahun 2002 itu. Hari-hari setelah itu relatif tidak ada lagi potensi perubahan besar kecuali riak-riak kecil yang harus ditandai sebagai ekspresi style kepemimpinan rezim belaka, dan jelas bukan karena faktor substantif yang merujuk pada software negara.
Jika ingin menamai rezim pasca amandemen terakhir UUD 1945 itu, urusannya adalah pada upaya mengidentifikasi style kepemimpinan khususnya pada era SBY (10 tahun) dan era Jokowi. Keduanya akan lebih tepat diidentifikasi dari cara mereka mengadaptasi perubahan yang hulunya ada pada hasil akhir amandemen UUD 1945.
Jadi Anda bisa menyodorkan fakta-fakta objektif dalam pemerintahan SBY untuk membantu Anda menandai dan menamai rezim pemerintahan itu. Misalnya dengan mengukur signifikansi faktor hadirnya figur militer pasca regulasi peran militer dibatasi dan rentang waktu yang justru tidak begitu lama setelah rezim ORDE BARU yang kerap juga disebut beraroma amat militeristik.
Anda juga bisa menginventarisasi fakta kejadian besar yang merugikan keuangan negara dengan kasus BLBI dan Century Gate, atau juga tak menganggap remeh tentang egalitarianisme SBY dalam masalah hukum meski ia dicaci maki dengan tuduhan pembohong atau penyimbolan tak enak (unjuk rasa mengidentikkan kerbau).
Sama halnya dengan era kepemimpinan Jokowi yang mungkin dapat ditandai dengan mengukur signifokansi performance tertentu dari pemerintahannya seperti dengan aneka slogan kerja, kerja, kerja; Trisakti, Revolusi Mental, keterbelahan dalam komunitas Cebong versus Kampret, atau baju kotak-kotak dan investasi dalam pencitraan. Semua gimmik itu bisa dikontestasikan untuk menentukan karakteristik utama untuk menamai rezim Jokowi.
Satu hal yang jelas ialah rezim pemerintahan pasca amandemen terakhir UUD 1945 tidak tepat disebut era reformasi.
Berdasarkan logika dan narasi politik yang disejarahkan Indonesia mengenal Orde Lama (ORLA) dan Orde Baru (ORBA). Kedua era itu masing-masing adalah era kesejarahan yang diciptakan oleh Soeharto untuk kepentingan politik.
Jika hari ini seorang Soekarnois ditanya, ia tak akan setuju dengan pelabelan ORBA kepada masa kepemimpinan Soekarno sejak kemerdekaan hingga dijatuhkan pada tahun 1966.
Tentu, menurut pandangan subjektif Soekarnois, penanda yang tepat bagi rezim Soekarno bukanlah esensi yang disarikan dalam nama ORBA, karena hal itu dipandang stigmatif.
Tetapi di atas segalanya saya merasa amat janggal jika sebuah era seperti Orde Lama, Orde Baru dan reformasi tiada batas waktu.
Para sejarawan dan ahli politik dan ahli lainnya sangat perlu duduk merumuskan hal ini. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU