Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) namun upaya pemberantasan korupsi selama ini dilakukan ‘pura-pura serius’. Korupsi dianggap biasa-biasa saja dengan respons setengah hati paling tidak hanya dalam ego sektoral dengan standar pencitraan. Fokus pemberantasan korupsi nampaknya hanya di wilayah eksekutif dan legislative. Sektor lain yang tidak tanggung-tanggung menggunakan anggaran bahkan sulit menerapkan prinsip transparansi pun terkesan hanya usah tidak karena bulan.
Pada BUMN praktek yang terjadi sejak dulu sampai sekarang nampaknya sangat dipengaruhi oleh kedekatan penentu kekuasaan dengan elite serta bisnis-bisnis kelompoknya. Contoh kecil apa kabar pemberantasan korupsi di Pertamina? Bahkan bagaimana informasi mantan dirut garuda?. Hal itu disiasati dengan mengangkat begitu banyak aparat dan pejabat baik sipil/TNI dan Polisi di pengawas atau komisaris BUMN, bukankah ini KKN? Atau lebih sempitnya jua korupsi? bagaimana dengan lembaga atau badan yang dibentuk kemudian fungsionarisnya berasal dari elite parpol dan itu digaji dari APBN sebutlah salah satunya BPIP?
Hal ini diperparah dengan lahirnya Perppu No 1 Tahun 2020 yang kemudian begitu cepat diundangkan menjadi UU dengan tegas menihilkan atau membuat imun aparatur negara yang mengelola anggaran penanganan covid-19 terhadap masalah hukum administrasi, perdata bahkan pidana termasuk dugaan korupsi. Padahal sanksi maksimal tipikor adalah korupsi dan bencana. Jadi antara regulasi pemerintah dengan Perma serta statement KPK rasanya sudah sangat membuat lucu.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch yang memantau 104 kasus korupsi kepala daerah yang ditangani KPK sejak 2004 hingga 2018, rata-rata tuntutan hanya 7 tahun 3 bulan pidana penjara. Vonis pun ala kadarnya. Rata-rata putusan baik pengadilan tindak pidana korupsi maupun Mahkamah Agung hanya cuma 6 tahun 2 bulan penjara. Catatan ICW juga menyebutkan, sepanjang tahun 2019, rata-rata hukuman pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Sehingga Mahkamah Agung (MA) mengambil langkah terkait pemberantasan korupsi.
Peraturan MA No. 1 Tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan terobosan hukum yang diharapkan menjawab setidaknya dua masalah pokok: pertama, disparitas hukuman, yakni penjatuhan berat hukuman yang berbeda jauh terhadap kasus yang tingkat kerugian/dampaknya serta kesalahan pelakunya relatif mirip, baik antar majelis hakim yang berbeda atau oleh majelis yang sama; kedua, disproporsionalitas pemidanaan, yakni penghukuman yang tidak sebanding dengan kerugian/dampak perbuatan dan/atau kesalahan pelaku. Kedua masalah di atas perlu direspon karena mengusik rasa keadilan, baik bagi terpidana maupun masyarakat, yang pada gilirannya merusak wajah institusi peradilan.
Secara garis besar, Perma 1/2020 mengatur rentang hukuman yang akan dipedomani oleh hakim, rentang mana ditentukan berdasarkan dua faktor utama. Pertama, besar kerugian keuangan/perekonomian negara yang diakibatkan dari perbuatan korupsi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor (perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, dalam kasus, seperti pengadaan barang/jasa, penganggaran atau penyaluran bantuan. Kedua, tinggi-rendahnya tingkat “KDK”, yakni Kesalahan (pelaku), Dampak (perbuatannya) serta Keuntungan (yang diperolehnya).
Secara umum, penentuan faktor-faktor utama yang menentukan tingkatan rentang hukuman yang diatur dalam Perma sudah tepat. Memang dapat dipertanyakan, misalnya, mengapa riwayat kejahatan atau status terdakwa (misal pejabat tinggi negara atau aparat penegak hukum) tidak dijadikan faktor utama (hanya dijadikan alasan pemberat/peringan). Tidak jelas pula mengapa sudah atau belumnya terdakwa menikmati hasil korupsi perlu dijadikan pertimbangan dalam penghukuman.
Adapun pendapat yang kontra terkait Perma 1/2020 yakni pertama, keberadaan pedoman pemidanaan akan membatasi kemandirian hakim atau akan melahirkan ketidakadilan tidak sepenuhnya berdasar. Potensi ketidakadilan, meski ada, sangat tergantung pada desain dan substansi pedomannya, bukan pada adanya pembatasan diskresi hakim dalam menjatuhkan pidana an sich. Kedua, terkait penjatuhan hukuman pidana yang didasarkan pada beleid setingkat Peraturan Mahkamah Agung. Perampasan hak seseorang, termasuk hak atas hidup bebas, harusnya dilakukan atas perintah undang-undang.
Dengan adanya Perma ini memberikan kesan distorsi atas lembaga MA yang sejatinya adalah lembaga yudikatif bukan lembaga legislative yang bertugas menghasilkan undang-undang. Ketiga, bila memang Perma ini akan menjadi senjata pemberantasan korupsi di Indonesia mengapa Perma ini hanya mengatur Pasal 2 dan 3 saja?. Sebagaimana yang diketahui dalam UU Tipikor korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pertanyaannya, bagaimana dengan jenis korupsi yang lain? Bukankah jenis korupsi yang tersebar dalam UU Tipikor itu juga merupakan kejahatan luar biasa yang harusnya diperlakukan serupa?. Jikalau sudah diatur, untuk apa dikasih pedoman? Keempat, apakah ada sanksi yang tegas bilamana hakim tidak mengikuti pedoman yang diatur dalam Perma tersebut?. Bila diperhatikan saat ini kecenderungan vonis hakim terkait kasus korupsi tak jua memberikan gebrakan baru.
Sejauh ini masih sangat amat sedikit hakim yang memberikan vonis seumur hidup terkait kasus korupsi. Berdasarkan catatan detikcom, Minggu (2/8/2020), koruptor pertama yang mendapat hukuman penjara seumur hidup ialah Adrian Waworuntu. Adrian adalah pembobol BNI 46 cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Nilai korupsinya mencapai Rp 1 triliun lebih. Selanjutnya, koruptor kedua dengan hukuman penjara terlama di Indonesia adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Saat menjadi Ketua MK, Akil terlibat ‘dagang’ putusan dan korupsi keadilan. Adapun jumlah uang suap yang diberikan pihak berperkara dalam kasus Akil ini, totalnya mencapai Rp 57 miliar, terbanyak bila dibandingkan dengan kasus-kasus dugaan suap lainnya.
Pertanyannya mungkinkah keberadaan Perma ini dapat memberikan keadilan yang layak bagi koruptor yang kerugian negaranya bernilai fantastis?. Jika mengulik lebih jauh masih banyak pekerjaan rumah untuk ‘merumahkan’ para koruptor kelas kakap yang kasusnya masih mandek seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kerugian negaranya mencapai Rp 640,9 triliun, kasus lelang proyek E-KTP yang merugikan negara sebesar 2,3 Triliun dan telah menyeret beberapa nama besar namun tak kunjung ditindaklanjuti, kasus Bank Century yang menyebabkan pemerintah mengalami kerugian sebesar 6,7 Triliun tapi hingga saat ini, otak utama di balik skandal Century ini belum terungkap, bahkan seperti lenyap ditelan bumi.
Patut diberi apresiasi atas upaya MA dalam memberantas korupsi yang tumbuhnya bak cendawan di musim hujan. Akan tetapi alangkah lebih baik bila terobosan hukum pemberantasan korupsi dilakukan oleh Presiden dengan memberi contoh tauladan bukan sekedar pidato. Memaksimalkan pencegahan dengan cara luar biasa bukan sekedar biasa-biasa sehingga membentuk budaya hukum utamanya pada pihak-pihak yang berpotensi menjadi koruptor
Permasalahan korupsi sejatinya bukan hanya didefenisikan sebanyak 30 jenis yang disederhanakan ke dalam tujuh kelompok besar, namun yang tidak kurang kalah pentingnya adalah meratifikasi korupsi pada sektor korporasi, sebab masyarakat sangat dirugikan dari korupsi korporasi ini bukti yang tak terbantahkan bagaimana permainan harga-harga atas nama pasar, tapi pemerintah tak bisa berbuat apa-apa (kesan sebagai negara penjaga malam). Demikian juga kualitas dan kuantitasnya. Praktek monopoli, ologopoli dan kartel kasat mata sementara KPPU laksana kerakap tumbuh di batu.
Dalam rangka tindak lanjut statement Presiden pada pidato kenegaraan menyambut 17 agustus 2020 kemarin jadi bukan sekedar kata saja, gertakan atau ancaman yang tidak didukung oleh keputusan konkret melalui kuasa. Publik menunggu aksi Presiden dalam memberantas korupsi kelas kakap yang bukan hanya sekedar statement amarah saja. (*)
Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut dan Dosen FH UMSU