Kasus surat jalanan buronan kasus Bank Bali Djoko Tjandra yang sekarang terungkap adalah Aksi dan narasi terbuka ketidakpatuhan para penegak hukum dan wujud permufakatan jahat, personil birokrasi elite negeri, ini memperlihatkan fakta ada pihak di lembaga penting tertentu yang dapat mengatur sejumlah hal yang muaranya menggagalkan atau menghalangi proses hukum atau melindungi orang yang berstatus DPO seperti Kasus Djoko Tjandra.
Potret uraian kegiatan permufakatan jahat para pihak yang dapat disiisir melalui pengurusan segala keperluan, terlihat dari produk surat dan tindakan nyata dari para pejabat pada unit lembaga tersebut, jelas nyata bertentangan dengan tugas pokok, kewajiban hukum dan bertentangan dengan fungsi serta tanggung jawab mereka.
Jika disisir hulu dan hilirisasi pada fase sekitar April 2020 sampai Juli 2020, ini jelas banyak tindakan yang di perankan dari berbagai pihak tidak hanya semata produk surat jalan dari insitusi kepolisian, Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Namun ada juga koordinasi dengan imigrasi , ada juga dari pihak kejaksaaan bahkan sampai pada tingkat di kantor kelurahan untuk buat ktp, karenanya peristiwa ini perlu ditelusuri secara detail dan objektif.
Peristiwa ini juga menunjukkan betapa mengakar bobroknya mental perilaku birokrasi juga sekaligus menjadi cermin buruknya interkoneksi sistem antar instansi, namun karena ada keinginan yang sama dari semua, dan sengaja para pihak memilih “berdiam diri” untuk curang dan mengabaikan kewajibannya yang semestinya memproses hukum orang yang berstatus DPO (buron). Ini malah berpihak pada orang yang berstatus buron yang jelas nyata perilakunya telah merugikan uang negara, ini nyata penghianatan buat negara, birokrasi yang bermental penghianat buat bangsa maka relevanlah apa yang dikatakan oleh Jendral Soedirman, “musuh utama bangsa ini penghianat”.
Untuk itu perlu bentuk ketegasan negara dalam melawan siapapun yang merintangi proses hukum, bahwa tidak ada alasan apapun untuk mencurangi hukum maka dalam kasus ini para pelaku dapat dipidana dan diterapkan Pasal 21 Undang undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman 12 Tahun penjara dan ditambah hukum pemberatan dan dapat pula ditambahkan pencopotan serta pemberhentian status pegawai semua para pelaku atau bagi siapapun yang menjalankan profesi yang bertentangan dengan kode etik.
Jadi tidak seorang warga negara pun boleh mencegah, merintangi, dan menggagalkan proses hukum yang sedang dilakukan untuk menegakkan keadilan. Negara harus menang dan berdaulat, Ini tentang kehormatan institusi negara, maka negara harus tegas dan terhormat. (*)
Azmi Syahputra, Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno, Alumni FH UMSU