TAJDID.ID || Dalam rangka advokasi Judicial Review atas UU No. 2/2020 tentang Kebijakan dan Stabilitas Keuangan Negara, Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) mengadakan Webinar dengan tema “Menggugat UU No. 2/2020: Aspek Sosial & Kesehatan Terabaikan?!”, Jum’at (10/7/2020).
Webinar yang dimoderatori oleh Auliya Khasanofa (Sekjend KMPK) menampilkan Keynote Speaker Prof Dr M Din Syamsuddin (Ketua Komite Pengarah KMPK) dan sejumlah pembicara diantaranya Prof dr Fasli Jalal, Sp. GK., Ph. D (Rektor YARSI), Chusnul Mar’iyah, Ph. D (Dosen Ilmu Politik UI), Dr M Mu’inudinillah Basri MA (Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta), Dr Ma’mun Murod Al Barbasy M Si (Dekan Fisip UMJ), Hersubeno Arief (Konsultan Media dan Politik) dan Dr Marwan Batubara (Ketua Komite Penggerak KMPK).
Tampil sebagai pembicara pertama, Prof Dr M Din Syamsuddin mengungkapkan kenapa KMPK menggugat UU No 2tahun 2020 atau eks Perppu No 1 tahun 2020.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI mengatakan, pihaknya melakukan gugatan karena Undang-undang itu tidak secara sungguh sungguh ingin menanggulangi pandemi Covid-19.
“Bukan hanya terjadi pengabaian sosial, tetapi telah terjadi yang lebih dahsyat dan lebih keras lagi adalah penzaliman masyarakat dan rakyat,” ujar Din.
Dibeberkannya, karena selain alokasi anggaran untuk katanya penggulan Covid-19 lewat Kementrian Kesehatan yang sangat sedikit, kalau tidak salah dari awalnya sebesar Rp 405 triliun, hanya Rp 75 triliun. Kemudian telah naik total anggaran hingga Rp 900 triliun, namun untuk bidang kesehatan dalam rangka penanggulangan Covid-19 hanya Rp 87 Triliun.
Tapi, lanjut Din, ia mendapat informasi yang perlu diverifikasi, agaknya mustahaq, karena dikatakan sendiri oleh Menkes saat Rapat Dengar Pendapat di DPR,bahwa yang disetujui itu hanyalah RP 25,5 Triliun.
“Artinya apa? Sedikit sekali. Katanya mengajukan Perppu karena adanya kegentingan yang mendesak disebabkan pandemi Covid-19, namun ternyata tidak secara sungguh-sungguh sebagaimana yang dijelmakan di dalam alokasi anggaran. Kalau 25,5 Triliun tentu tidak akan bisa mengatasi pandemi Covid-19 yang dahsyat ini,” sebutnya.
Itulah sebabnya, kata Din, kenapa sekarang angkanya masih merangkak, belum melandai, banyak tenaga medis yang terpaksa wafat di medan perjuangan, belum lagi rakyat harus membayar test yang sangat mahal yang tidak bisa dijangkau oleh rakyat.
Namun dari Rp 25.5 Trilun katanya, lanjut Din, yang baru tersalurkan atau yang bisa terserapkan itu hanya sekitar Rp 354 miliar.
“Kalau benar angka ini, Rp 354 miliar berarti dapat dikatakan pemerintah tidak melaksanakan amanat konstitusi. Di pembukaan UUD 1945 itu salah satu fungsi dan tanggungjawab negara atau pemerintah adalah melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia,” tegas Din.
Menurut Din, melindungi berarti menyelamatkan mereka (rakyat-red) dari pandemi, menyelamatkan mereka dari Covid-19 ini. Tapi kalau tidak sungguh-sungguh disediakan anggaran untuk itu, apalagi Rp 354 milyar tentu tidak cukup untuk membeli peralatan, tidak cukup untuk menyediakan alat-alat test, tidak cukup untuk menjaga tenaga-tenaga medis agar mereka selamat di dlam melaksanakan tugasnya.
“Inilah yang telah terjadi. Angka yang positif, walaupun alhamdulillah banyak juga yang terselamatkan, dan ini belum menurun, bahkan mungkin ini belum sampai ke puncaknya,” sebut Din.
Din mengatakan, ini bukan hanya pengabaian sosial. Rakyat dan warga negara memiliki civil-political right yang dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dijamin UUD 45, dijamin dan ditegaskan oleh The International Covenant on Civil and Political Rights,
“Kalau ini diabaikan, berarti juga telah mengkhianati konstitusi melindungi seluruh rakyat Indonesia. Ini yang kita kritik. Maka kami, kita semua, bereketatapan hati untuk menggugat UU No 2 Tahun 2020,” ujarnya.
Din mengatakan, ada yang menyampaikan kepadanya secara pribadi nada pesimis, karena Mahkamah Konstitusi boleh jadi akan menolaknya lagi. Din menjawab, justru ia ingin tetap optimis, masih menaruh harapan dan optimisme.
“Saya kira para hakim Mahkamah Konstitusi itu tetap punya hati nurani. Dan terutama bagi mereka yang beragama harus mengingat ada ahkamul hakimin, ada hakim yang tertinggi yang adil. Jika tidak menegakkan keadilan, maka balasan dari ahkamul hakimin itu, kalau tidak di dunia ini yang jelas pasti di akhirat nanti,” pungkasnya. (*)