Oleh: Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)
Belakangan ini muncul gagasan beberapa kalangan tertentu yang berkeinginan mendirikan kembali partai terbesar umat Islam yang dulu pernah mencatatkan dua kadernya menjadi Perdana Menteri. Seberapa besar peluang itu didukung oleh umat Islam Indonesia?
***
Para pemrakarsa Partai Masyumi memerlukan upaya yang secara ketat bertujuan menekan proses legislasi agar legalframework partai politik dan pemilu di Indonesia direvisi tajam. Hal-hal itu menyangkut isyu strategis antara lain memastikan dana parpol Rp 1 trliun pertahun. Ini harus merubah pola pendanaan konvensional yang hanya didasarkan hanya pada perolehan suara pada pemilu. Juga memastikan para pemrakarsa secara terang-terangan, taktis dan strategis menyuarakan kepentingan umat Islam dalam hal proses legislasi. Kemudian memastikan tidak akan ada agenda politik yang akan mengukuhkan seseorang dapat berkuasa abadi di Indonesia sebagaimana Putin di Rusia dan Xi Jinping di China lakukan.
Tentu para pemrakarsa Masyumi tidak buta politik bahwa jejaring harus dibangun dengan biaya besar dan paternalisme Indonesia masih memerlukan figur sentral serta umat Islam Indonesia kini terpilah sekuler dan non-sekuler. Bekerja pada peta itu memerlukan kecerdasan berlebih.
***
Sejarah memang mencatat bahwa Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) I Tahun 1945 merekomendasikan satu-satunya partai untuk umat Islam Indonesia ialah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang berdiri pada tanggal 7 November 1945.
Dalam waktu singkat, kurang dari setahun, partai ini menjadi partai politik terbesar di Indonesia dan menurut catatan sejarah bahwa selama periode demokrasi liberal para anggota Masyumi duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dan bahkan terpilih sebagai Perdana Menteri Indonesia, seperti Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.
Tetapi pada Pemilu pertama tahun 1955 Masyumi hanya berhasil menduduki posisi kedua dengan perolehan 7.903.886 suara (20,9%) dan dengan suara itu behak atas 57 kursi di parlemen.
Segmentasi peta Masyumi waktu itu menggambarkan pola pikir modernis Islam. Meski 51,3% suara Masyumi itu berasal dari Jawa, tetapi Masyumi adalah partai dominan untuk daerah-daerah di luar Jawa, dan partai terdepan bagi sepertiga orang yang tinggal di luar Jawa. Raihan suara Masyumi di Sumatra adalah 42,8%, Kalimantan 32%, dan Sulawesi 33,9%.
Sekarang, tahun 2020, obsesi mendirikan kembali partai Masyumi akan beroleh tantangan tersendiri. Beberapa hal yang perlu dikemukakan kepada para pemrakarsa itu ialah:
Pertama, kini keberadaan beberapa partai yang secara langsung atau tak langsung, secara tegas atau tidak tegas, menikmati dukungan umat Islam, adalah tantangan buat mereka. Seberapa mampu mereka mengajukan tantangan pemikiran yang lebih realistis, modernis dan solusional untuk berebut dukungan di kalangan pemilih muslim, sebelum menjawab hal kedua.
Kedua, Bagaimana menerangkan realitas sejarah dan apa solusi untuk itu. Harap diingat bahwa rekomendasi KUII I Tahun 1945 itu dikaitkan dengan hasil pemilu pertama tahun 1955, kelihatannya ada pertentangan serius yang menyebabkan tak seluruh umat terakomodasi. Perhatikan hasil pemilu 1955 bahwa dari 37.785.299 suara dengan 257 kursi yang dibagi, PNI beroleh suara 22,32%, Masyumi 20,92%, Partai NU 18,41%, PKI 16,36%, PSII 2,89%, Parkindo 2,66%, Partai Katolik 2,04%, PSI 1,99% IPKI 1,43%, Perti 1,28%, PRN 0,64%, Partai Buruh 0,59%, GPPS 0,58%, PRI 0,55%, P3RI 0,53%, Murba 0,53%, Baperki 0,47%, PIR Wongsonegoro 0,47%, Grinda 0,41%, Permai 0,40%, Persatuan Dayak 0,39 1%, PIR Hazairin 0,30%, PPTI 0,22%, AKUI 0,21%, PRD 0,21%, PRIM 0,19%, Angkatan Comunis Muda 0,17%, R.Soedjono Prawirosoedarso 0,14%, Lain-lain 2,71%.
Artinya, para pemrakarsa pendirian kembali Masyumi harus berhadapan dengan fakta bahwa secara politik mayortas umat Islam Indonesia terbagi kepada tiga kelompok utama, yakni setia Islam, sekuler, komunis dan abangan. Keseluruhannya mungkin dapat disederhanakan dengan kategorisasi tradisionalis dan modernis dan terbukti kalangan pertama yang mendominasi.
Ketiga, Pemrakarsa Masyumi harus sadar bahwa meski pun pemeluk agama-agama lain telah beranjak ke sebuah strategi baru bahwa secara formal tak berpartai lagi, dan oleh karena itu terus bersuara tentang politik identitas sebagai anti pluralitas dan basis bagi intoleransi, namun mereka bukan tak bekerja politik melalui partai-partai yang dapat mereka masuki, pengaruhi dan kendalikan.
Keempat, fakta sejarah bahwa pada tahun 1958, beberapa anggota partai politik termasuk Masyumi bergabung dengan pemberontakan PRRI terhadap Soekarno. Sejarah harus diluruskan bahwa Soekarno tak pernah membubarkan Masyumi yang disebut terjadi pada tahun 1960, melainkan menyatakan bubar. Ini berbeda dengan partailain yang memabng dibubarkan oleh pemerintah Soekarno.
Kelima, Konsolidasi apa yang akan ditawarkan oleh pemrakarsa Masyumi? Catatan sejarah kegagalan pada masa transisi ke Orde Baru memunculkan Keluarga Bulan Bintang yang ditorpedo Soeharto. Menghadapi pemilu 1998 usaha mendirikan kembali Masyumi berhadapan dengan kenyataan sebagian pengikut ideologis Masyumi justru mendirikan Partai Bulan Bintang. Bahkan secara historis partai gagal Bulan Bintang inilah yang sejak tahun 1998 hingga 2019 yang disebut-sebut sebagai mewakili aspirasi Masyumi. (*)