Sejak pertemuan Sultan dan Raja se Nusantara beberapa tahun lalu, saya menaruh perhatian atas gejala pencarian revivalisme meski tidak harus dimaknai akan menjadi alter (penanding) bagi organisasi dan kekuasaan politik negara dan penerintah.
Namun langsung atau tak langsung mereka berusaha memberi tekanan budaya dan peringatan halus tentang arah dan perjalanan bangsa.
Rekonstruksi model ini memang umumnya akan diawali dengan formalisme dengan penekanan simbol ekspresif seperti pakaian kebesaran, ritual dan lain sebagainya.
Tetapi mereka, sebagai asosiasi sukarela, yang memiliki catatan sejarah yang panjang, bahkan di antaranya tercatat memiliki hegemoni kenegaraan sebelum Indonesia terlahir, lambat laun akan mencari ruang partisipasi yang lebih efektif.
Dulu kita memiliki perwakilan daerah dan golongan di pusat pengambilan kebijakan politik pemerintahan. Kini semua direduksi oleh sistem demokrasi yang pada umumnya transaksional. Selaian itu selalu ada fenomena deviatif dalam pemosisian diri sebagai toloh spritual yang dijanjikan oleh sejarah sesuai pemahamannya yang berbau mitis.
Dalam sejarah dunia gerakan millenarian berbasis kepercayaan mesianisme tak jarang muncul. Kita ingat ada yang minta dipercaya bahwa tahun sekian kiamat akan terjadi dan setelah tak terbukti popularitasnya melorot tajam hingga dilupakan. Kemudian ada perempuan mengaku nabi dan pengikutnya tak terbatas pada orang rendah literasi.
Setinggi kemajuan zaman selalu ada residu berupa ketertinggalan budaya (cultural-lag) yang secara anachronis berusaha mrnjawab masalah dan tantangan zaman dengan cara sendiri termasuk dengan nativisme dan supranaturalitas yang dikembangkannya sendiri.
Baru beberapa tahun lalu ada orang yang mengaku bisa menggandakan uang dan pengikutnya banyak.
Terkait hal tersebut, ada yang diabaikan oleh negara, yakni ķadar literasi dan rasionalitas. Kemaren sangat viral berita tentang sekelompok paranormal yang ingin memberi support kepada negara dalam kasus Natuna.
Kata berita, begitu Jokowi datang ke Natuna, semua nelayan China dan pasukan pengawalnya menghilang begitu saja. Dalam jarak waktu yang bersamaan Mahfud MD mengerahkan nelayan dari berbagai daerah untuk menongkrongi Natuna, mungkin sedang berusah memberi pesan kepada Xi Jing Ping bahwa perairan yang diklaim China itu ada pemiliknya, yakni Indonesia.
Lihatlah bagaimana penerintah cukup galau menyikapi Natuna itu, namun banyak yang percaya. Padahal masalah natuna adalah masalah berat dalam menjaga seluruh wilayah yang sejak Deklarasi Djuañda bahkan masih ada pulau yang sekadar nama saja pun belum, jangankan mensejahterakan rakyat yang berdiam di perbatasan. Padahal sewaktu-waktu China dapat mengambil Natuna dan Indonesia benar-benar tak akan sanggup berhadapan di situ.
Akan halnya Keraton Kesultanàn Sèjagad di Porworejo yang mengklaim diri berdasarkan pemahamannya àtas keniscayaan Majapahit, adalah sesuatu yang cukup mengherankan. Tokohnya jelas rendah kadar literasi dan wawasan. Tetapi mampu tampil mengejutkan dengan pengikut yang selurunya berseragam baru. Lahan mereka luas paling tidak terdapat di dua tempat berbeda.
Terlalu besar fenomena itu untuk bisa berlangsung sekian lama, padahal untuk menggulungnya hanya diperlukan waktu beberapa jam saja.
Dan yang tidak kalah menghebohkan adalah kemunculan Sunda Empire di Bandung. Kekaisaran ini menklaim pemerintahan dunia akan berakhir 15 Agustus 2020. Dan sebagai gantinya mereka menyebut Bandung sebagai titik koordinat 0.0 tempat mercusuar dunia.
***
Sesungguhnya, fenomena Keraton Kesultanan Sejagat dan Sunda Empire berbeda dengan forum Sultan dan Raja se Nusantara. Keduanya dibedakan oleh sejarah dan klenikisme yang menonjol sebagai daya tarik pada kesultanan sejagat yang menggelikan dengan tokoh yang disebut memiliki catatan pidana itu.
Di dalam syair lagu Indonesia raya ada kalimat “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Hal itu harus benar-benar dilakukan jika akan berkata berdaya saing dan dengan klaim mulus memasuki era industri 4.0.
Kita tak sekadar lantang berteriak mobik Esemka dengan membiarkan rakyat terus bertanya kemampuan industrialisasi yang mundur setelah pernah unggul dengan industri pesawat terbang zaman Orde Baru dan pengabaian yang terus-menerus atas keniscayaan pengembangan iptek yang tentu tak akan diperoleh berkat klaim. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan Koordinator n’BASIS