TAJDID.ID-Medan || Sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, klaim Hinca Panjaitan tentang hasiat tuak untuk penyembuhan kecanduan narkoba selain bersifat prematur juga amat tidak peka atas prinsip-prinsip dasar kebangsaan.
“Prematur karena ia bukan seorang ahli medis yang kompeten dalam hal ihwal penyembuhan kecanduan narkoba. Disebut tidak peka atas prinsip dasar kebangsaan karena mayoritas penduduk Indonesia faktanya beragama Islam dan mereka mengharamkan tuak,” ujar Shohibul menanggapi pernyataan Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan lewat akun twitternya (@hincapandjaitan) baru-baru ini yang mengatakan bahwa tuak baik untuk terapi narkoba dan mengajakkan masyarakat untuk mepopulerkan tagar (#) TuakBaikUntukTerapiNarkoba.
Baca juga berita terkait: Abdul Hakim Siagian: Terlalu Dini Menyebut Tuak Efektif untuk Terapi Narkoba
Lewat video yang disertakan dalam kicauan tersebut, Hinca mengaku mendapat gagasan tuak baik untuk terapi narkoba dari kesaksian sejumlah temannya saat melakukan Rembuk Bangsa di Kota Siantar dan Kabupaten Simalungun Sumut.
Karena itu. Shohibul minta pemerintah khususnya di kedua daerah dan para pemuka masyarakatnya segera menyikapi pernyataan Hinca Panjaitan ini.
Shohibul juga menilai argumen dasar yang disampaikan Hinca sangat lemah, dimana hanya berbekal testimoni yang ia klaim dari 18 (delapan belas) orang sahabatnya yang yakin sembuh dari kecanduan narkoba karena minum tuak dua gelas setiap hari, sebelum tidur, lalu ia menganjurkan agar lapo (kedai) tuak diperbanyak hingga paling tidak kelak ada di setiap desa dan kelurahan di seluruh Simalungun, Pematangsiantar, Dairi dan di tempat-tempat lain.
Dan yang lebih kontroversial lagi, kata Shohibul, menurut Hinca Panjaitan di tengah semua orang menganggap lapo itu sebagai sesuatu yang tidak baik, dan di tengah orang menganggap tuak itu tidak baik, ternyata ada sisi lain bahwa tuak baik untuk terapi narkoba.
“Negara kita sekarang sedang dirundung malang karena narkoba ini. Hinca Panjaitan jangan lagi menambah masalah. Orang yang kecanduan narkoba sejatinya ingin sembuh, dan lazimnya setiap orang yang sakit secara psikologis sangat rentan terhadap saran-saran penyembuhan mulai dari yang rasional hingga yang irrasional,” sebutnya di Medan, Rabu (20/11/2019)
Bukan cuma itu, Shohibul juga menilai pernyataan Hinca Panjaitan itu juga memiliki potensi ancaman karena kurang peka atas masalah kebangsaan yang mendasar. Tuak diharamkan bagi umat Islam dan jika saran Hinca Panjaitan itu diikuti pasti akan menimbulkan gejolak baru di tengah masyarakat yang belum selesai dengan berbagai masalah khususnya pasca pemilu serentak 2019.
“Mestinya ia tidak boleh menyepelekan perasaan umat Islam. Bahkan seyogyanya menghitung resiko dapat diidentifikasi sebagai figur politik yang berbahaya bagi rajutan kebangsaan,” tegasnya
Shohibul membeberkan, bahwa data demografis Kabupaten Simalungun (2019) mayoritas penduduk adalah muslim (sekitar 57 %) dan di Pematang Siantar perbandingan non-mulim dan muslim hampir berimbang.
“Hinca Panjaitan juga tidak boleh menyederhanakan pohon aren sebagai sesuatu yang dibudidayakan sejak dahulu kala khusus untuk produksi tuak. Pohon aren memiliki banyak manfaat lebih besar selain produksi tuak seperti gula dan lain-lain,” kata Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik (LHKP) PW Muhammadiyah ini..
Kemudian, ambisi mendirikan lapo tuak di setiap desa dalam kaitannya dengan upaya bersama melawan serbuan narkoba, juga sangat jauh dari jalan akal sehat. Menurut Shohibul, Hinca Panjaitan mestinya tahu bahwa masalah Indonesia dengan narkoba itu persis seperti yang dihadapi Amerika pada zaman Presiden Nixon, dimana intinya ada 4 masalah besar.
Pertama soal suply yang tak bisa dikendalikan. Jika suply ini bisa dikendalikan, baik dari sumber dalam maupun luar negeri, narkoba tidak akan menjadi masalah. Sama seperti jika semua pabrik rokok ditutup, niscaya pecandu rokok akan berkurang drastis.
Kedua, soal penegakan hukum yang terus semakin toleran dan juga banyak menyimpang. Ketiga, permissiveness yang menyebabkan pilihan rehabilitasi sebagai mainstream dengan segenap konsekuensinya yang sangat mahal. Keempat, bentuk kelembagaan pemberantasan yang tidak teritegrasi dengan masyarakat. (*)
Liputan: M. Risfan Sihaloho