Tiba-tiba saja Tanwir II Aisyiyah 2019 menghentak warganya. Acara yang diselenggarakan di kota “Berhati Nyaman” Yogyakarta mengambil tema : “Dinamisasi Gerakan Menebar Islam Berkemajuan”. Salah satu agenda acaranya menampilkan narasumber Agung Danarto dan Amin Abdullah.
Agung dan Amin diundang tentu untuk membincangkan tema tersebut di atas. Konsep besar tema setidaknya ada dua, yaitu dinamisasi dan Islam berkemajuan. Entah bagaimana ceritanya, antara mereka berdua menjadi kompak. Pada satu poin tertentu, mereka berdua sama-sama menyinggung syariat poligami.

Agung menyinggung syariat poligami (dan monogami) ketika membahas perihal optimalisasi peranan kader untuk dakwah Islam berkemajuan, dan untuk Persyarikatan yang berkemajuan. Itu bisa dicapai secara ideal, jika para kadernya melaksanakan monogami (menjauhi poligami). Ia plus membeberkan argumentasi-argumentasinya. Di mana salah satunya adalah bahwa monogami lebih berpeluang menciptakan keluarga sakinah ketimbang poligami.
Sedang Amin menyinggung syariat poligami (dan monogami) saat membahas pemikiran Islam trans-nasional seperti salafi, wahabi, dan khilafah. Ia menyimpulkan, bahwa pemikiran Islam trans-nasional tersebut bersifat eksklusif, intoleran, dan takfiri radikal. Menurutnya, semua ini tak sesuai dengan maqashidu syariah.
Maka menurut Amin, di era kontemporer ini, paradigma maqashidu syariah perlu diperbaharui terjemahannya dan tafsirannya. Khusus pada poin hifdzu nasab (menjaga keturunan) perlu dirinci sampai kepada larangan berpoligami. Istilah khas dia : “Warga Muhammadiyah bermimpi poligamipun tak boleh!”
Atas keberanian (atau kenekatan) Agung dan Amin tersebut di atas, maka muncul dua tulisan di media on line milik kader-kader muda Muhammadiyah yang berjudul bombastis luar biasa : “Tanwir ‘Aisyiyah : Melawan Fiqih Maskulin Dan Menutup Pintu Poligami”, dan “Tanwir ‘Aisyiyah : Monogami Lebih Berpeluang Meraih Sakinah”.
Apalagi jika kita membaca dalamnya atau isinya. Terdapat tulisan yang seolah-olah, bahwa acara Tanwir Aisyiyah itu memang merupakan ajang penegasan (deklarasi), bahwa Muhammadiyah dan Aisyiyah anti poligami(?). Maka ini pasti (insya-ALLAH) akan menjadi perbincangan yang santer. Setidaknya di internal Persyarikatan.
Apakah dua tulisan itu pelintiran-pelintiran para kader muda Muhammadiyah yang cenderung berpikiran liberal? Apakah dua tulisan itu sekedar cari-cari sensasi? Apakah dua tulisan itu memang berfungsi sebagai “buzzer” atas “keliberalan” Amin Abdullah? Sejauh ini, tiga pertanyaan tersebut memang sedang mencari-cari jawabannya.
Ketika Agung dan Amin menyinggung syariat poligami (dan monogami), menurut penulis, mereka berdua menggunakan logika yang melompat. Mengapa? Karena nyaris tak ada benang-merahnya antara poligami dengan optimalisasi peranan kekaderan, yang diungkap oleh Agung. Bukankah ethos keperintisan KH. Ahmad Dahlan dalam berislam secara kaffah yang luar biasa itu terlaksana dalam keadaan beliau berpoligami?
Sementara lompatan logika Amin Abdullah justeru kebablasan. Dari membahas tak berkesesuaiannya antara prinsip eksklusifisme, intoleranisme, radikalisme takfiri dengan maqashdu syariah, ia langsung menohok syariat poligami (jika tak mau disebut menghapus). Alasannya, poligami tak selaras dengan prinsip hifdzu nasab (menjaga keturunan). Yang selaras dengan prinsip hifdzu nasab hanya monogami.
Jika sekiranya judul di atas benar, penulis berpendapat, bahwa isu monogami ini tidak strategis dan kontra produktif. Saat ini, di Persyarikatan Muhammadiyah sama sekali tak ada masalah terhadap syariat poligami. Poligami menjadi urusan privat. Syariatnya baku dan qath’i, harus steril dari obok-obok tangan iseng dan jahil. Isu yang sedang santer saat ini justeru munculnya bocah-bocah Palestina yang jadi yatim, dan munculnya single parent. Itu buah hasil dari kebiadaban zionis yahudi (yang juga getol merasukkan “syariat” monogami ke otak dan hati kaum muslimin dan muslimat).
Maka ada catatan atas polemik ini. Hendaknya Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Pusat Aisyiyah musti segera turun tangan untuk mengklarifikasi perihal ini. Karena telah ada keresahan warga Muhammadiyah di akar rumput. Ini terbaca dari sebagian besar komentar para netizen (warga Muhammadiyah), di media on line yang memuat dua tulisan tersebut. Wa-ALLAHU a’lam bishshawwab. (*)
Budi Nurastowo Bintriman, Muballigh Akar Rumput. Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Asy-Syifa’ Bantul (2012 – 2017)