TAJDID.ID-Medan || Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Sumatera Utara Amrizal SSi MPd tampil sebagai pembicara dalam acara Seminar Nasional dengan tema “Menangkal Paham Radikalisme di Kampus”. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Forum Studi Pancasila UINSU.
Dalam paparannya Amrizal menjelaskan, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Namun, kata Amrizal, saat ini ada gejala kecenderungan ingin menggunakan isu radikalisme, ekstrimisme dengan tendensi tertentu yang dirasakan adalah diarahkan kepada kalangan Islam.
“Saya tidak bersepakat kalau stigmatisasi radikalisme itu ditujukan hanya kepada Islam. Radikal itu bisa dilakukan semua orang, semua latar belakang agama. Dan pastinya, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan radikalisme, termasuk Islam,” ujarnya, Selasa (12/11/19)
Sebagai contoh, kata Amrizal, ketika sekelompok orang atas nama agama melakukan sweeping tempat maksiat yang tentu saja tidak benar secara hukum karena mengambil alih tugas kepolisian, mereka disebut radikalis Islam. Namun manakala sekelompok orang atas nama nasionalisme dan bela NKRI melakukan sweeping atau mengusir kelompok lain yang berbeda haluan politik dan beda paham agama, tidak disebut radikalis.
Lebih jauh ia menjelaskan, radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata “radikal” (Inggris: radical) berasal dari akar kata “radix” (Latin) berarti “origin“ (aseli) atau “root” (akar).
“Mereka yang menganut paham radikal artinya yang ingin kembali ke sesuatu yang asli atau akar yang sifatnya mendasar,” terangnya.
Sejarah mencatat, kata Amrizal, paham dan pergerakan radikal dimulai di Eropa, khususnya Inggris, pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1797 gerakan “radikal” dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox dengan mendeklarasikan “reformasi radikal” dalam sistem pemilihan untuk reformasi parlemen. Setelah itu, sejak abad ke-19 pemikiran dan gerakan radikal bertumbuh menjadi liberalisasi politik untuk melakukan reformasi atau perubahan kehidupan politik yang progresif. Gerakan ‘Kiri Baru’ di banyak negara termasuk dalam radikalisme, sering diadopsi oleh gerakan-gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk di Indonesia.
Untuk menangkal radikalisma di kalangan pemuda, Amrizal menyarankan beberapa hal, yakni; beragama yang benar, berilmu yang luas, berorganisasi, menyaring informasi yang ada, menjaga persatuan dan kesatuandan mengamalkan ideologi Pancasila secara konkrit dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Amrizal juga menegaskan, bahwa mayoritas terbesar umat Islam sudah bersepakat bahwa Indonesia ialah negara hasil konsensus nasional di mana Pancasila sebagai dasar negara sejalan dengan Islam, yang dalam terminologi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia dideklarasikan sebagai “Darul Ahdi Wasyahadah”, yakni negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
“Ini merupakan hasil konsensus nasional seluruh golongan termasuk umat Islam yang tidak boleh diingkari oleh siapapun, namun harus diisi atau dibangun sesuai dengan cita-cita kemerdekaan menuju negara yang berkemajuan,” pungkasnya. (*)