TAJDID.ID || Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menilai selama ini masalah Papua cenderung diselesaikan dengan pendekatan militer. Kendati memang pada ranah tertentu pendekatan militer tidak dapat dihindari.
Jika melihat kompleksitas masalah di Papua, kata Abdul Mu’ti, maka diperlukan berbagai pendekatan lainnya. Pertama, perlu pendekatan sosial-budaya. Dalam pendekatan ini ada 3 langkah yang dapat dilakukan.
Langkah pertama mendorong integrasi sosial antara suku-suku asli Papua serta (integrasi) antara pendatang dan orang asli (Papua).
Kemudian, langkah kedua, perlu melakukan revolusi mental orang Papua.
“Sebab sebagian masalah Papua berakar pada mentalitas terutama etos kerja dan spirit kemajuan. Penguatan kapasitas, kecakapan hidup dan karakter masyarakat Papua sangat mendesak,” ujarnya, Jumat (30/8).
Selain itu,lanjut Abdul Mu’ti, yang tidak kalah pentingnya adalah pelibatan organisasi keagamaan melalui dialog dan kerjasama antariman sangat diperlukan di Papua. Terutama tiga kelompok agama di Papua di antaranya Islam, Kristen, dan Katolik. Para aktivis HAM dan gerakan sosial juga tidak kalah penting perannya.
Langkah Kedua, pendekatan politik. Dia menilai otonomi khusus di Papua tampaknya perlu dievaluasi karena mengarah pada konfrontasi dan kontestasi antarsuku-suku asli dan suku-suku lain serta suburnya korupsi pejabat daerah.
Adapun langkah yang ketiga, perlu memperkuat diplomasi. Beberapa negara mengangkat masalah Papua ke level PBB. Papua benar-benar menjadi masalah serius diplomasi di tengah capaian demokrasi dan HAM di Indonesia.
Dia menyarankan, penguatan diplomasi publik yang telah dikembangkan Kementerian Luar Negeri dapat diperluas dengan memfasilitasi jalinan masyarakat.
“Juga diperlukan lebih banyak suara sahabat Indonesia, baik dari kalangan peneliti, akademisi, maupun politisi,” katanya.
Abdul Mu’ti menegaskan masalah Papua tidak sederhana. Sebab tidak sedikit darah para pahlawan yang tumpah dan triliunan rupiah yang ditanamkan di Papua agar tetap menjadi bagian ibu pertiwi.
“Trauma lepasnya Timor Timur masih belum sirna, jangan sampai trauma bertambah karena lepasnya Papua dari peta Indonesia,” pungkasnya.
Seperti diketahui, selama ini keberadaan persyarikatan Muhammadiyah di tanah Papua cukup diterima dengan baik, kendati di daerah ini mayoritas non-muslim. Dan strategi dakwah yang dikembangkan Muhammadiyah di bumi cendrawasih ini terbilang khas dan cerdas. Selama ini, Muhammadiyah menjadikan dunia pendidikan sebagai lahan dakwah, dan ini terbukti sangat efektif dan lebih diterima. (*)
Sumber: republika.co.id