TAJDID.ID-Medan || Baru-baru ini ramai diberitakan tentang rasisme terhadap anak-anak mahasiswa Papua yang dilakukan oleh aparat. Terkait hal tersebut, Kepala Staf Kantor Presiden menegaskan tidak ada tempat bagi aparat yang rasis dan akan menjatuhkan hukuman kepada meraka yang melakukannya.
Menanggapi hal tersebut, Pusat Kajian dan Studi Konstitusi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (PKSK UMSU) mengapresiasi ketegasan pemerintah dalam menagani kasus rasisme tersebut.
PKSK menilai memang sudah seharusnya hukum harus ditegakkan seadil-adilnya. Bukan cuma tindakan rasisme di Jatim, tapi juga terhadap pelaku anarkis dan makar di Papua hukum juga harus ditegakkan. Seperti diketahu serangkaian peristiwa anarkis telah terjadi di Papua dan Papua Barat, seperti pembakaran gedung DPRD, perusakan Bandara Kota Sorong, pembokiran jalan yang merupakan akses bagi publik, penyerangan kaum minoritas muslim di kota Sorong, sampai pada keinginan memisahkan diri dari Indonesia.
“Hemat kita penegak hukum jangan hanya fokus pada kasus di Jatim saja, namun harus ada juga penyelesaian yg berkeadilan bagi mereka yg menjadi korban di Papua,” ujar Benito Asdhie Kodiyat MS, Ketua PKSK UMSU di Medan, Jumat (23/8).
Dikatakan Benito, presiden Jokowi sudah memerintahkan kepada Kapolri, TNI, dan Menteri-menteri untuk menyelesaikan masalah di Papua secara cepat, namun masyarakat belum melihat ada keseriusan penyelesaiannya.
“Bahkan kerusuhan sudah menyebar keberbagai tempat lain seperti Fak-fak, jangan karena lambannya penanganan kerusuhan dan kejahatan di PAPUA akan dibandingkan masyarakat dengan penanganan kasus lain yang pelakunya muslim,” tegas Benito.
Menurut Benito, salah satu yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah media yang harus profesional dan seimbang dalam memberitakan kerusuhan di Papua.
Dia meminta, media jangan cuma fokus memberitakan penanganan kasus rasisme di Jatim, karena masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui perkembangan penanganan kerusuhan di Papua.
“Peran media sangat penting saat ini. Jangan alergi memberitakan kejatahan, sehingga muncul stigma di tengah-tengah masyarakat, kalau ummat tertentu yang melakukan kejahatan maka media sangat gencar memberitakan dan mem-framing” berita nya dengan menyudutkan wibawa agama tertentu,” sebutnya.
Jika media tidak mau dan mampu tampil profesional dan independen, Benito khawatir masyarakat akan jenuh dan tidak percaya lagi dengan media, sampai pada gerakan boikot media.
Dan memang seharusnya demikian, kata Benito, media harus seimbang dan profesional sebagai pilar negara yang terbuka dan memperjuangkan nilai-nilai hak asasi manusia.
Dan kita mendesak penegak hukum seperti Polri harus serius menyelesaikan kesuruhan dan kejahatan tersebut dengan cara penegakan hukum. Tidak ada maaf bagi pelaku kejahatan di negeri ini. Polri harus melakukan penegakan hukum yang seadil-adilnya,” pungkasnya. (*)