Suatu ketika sekitar tahun 1980-an, menjelang perayaan Milad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) untuk tingkat Sumatera Utara, saya bersama seorang teman (saya tidak ingat lagi apakah bersama rekan Mohd Norman atau Mohd Aladin Berutu) berkunjung ke rumah Djagindung Dalimunthe, di kawasan Helvetia, Medan. Niat saya untuk beroleh bahan sejarah IMM dari kalangan ashabiqunal awwalun.
Baca berita terkait: Djanginduang Dalimunthe, Ashabiqunal-awwalun IMM Sumut Tutup Usia
Dari beliaulah saya beroleh data peristiwa-peristiwa penting IMM, mulai dari kelahirannya di Yogyakarta tahun 1964, Muktamar (Munas) I tahun 1965 di Solo, Tanwir Surakarta (1966), Tanwir Garut (1967) yang mencetuskan Deklarasi Garut, Tanwir Yogyakarta (1969) yang memutuskan sistemisasi serta pembakuan Sistem Perkaderan IMM, Tanwir Magelang (1970) yang memutuskan Mars IMM, Hymne IMM, dan Identitas IMM, Muktamar Semarang (1975) yang melahirkan Deklarasi Baiturrahman.

Beberapa dokumen deklarasi dan keputusan terpenting organisasi yang pernah dilahirkan melalui permusyawaratan tertinggi atau dibawahnya, kesemuanya dihadiri oleh Djaginduang Dalimunthe. Dari tangan beliau foto copy semua dokumen itu saya peroleh yang sebelum saya bawa pulang dokumen yang dimasukkan ke dalam map berwarna kuning itu terlebih dahulu kami bahas satu persatu.
Deklarasi Kotta Barat Solo (1965)
Deklarasi Kottabarat, Solo (1965) memuat 6 penegasan, kata Djagindung Dalimunthe waktu itu. Sebagaimana cara bicara dan sikapnya yang amat tenang, dengan sangat hati-hati beliau jelaskan kepada saya.
Pertama, menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam.
Kedua, penegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM.
Ketiga, menegaskan bahwa fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator).
Keempat, menegaskan bahwa IMM adalah organisasi mahasiswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara.
Kelima, menegaskan bahwa Ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah.
Keenam, menegaskan bahwa amal IMM adalah lillahita’ala dan senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat.
Saya harus selalu ingat, bahwa keiritan beliau berbicara harus memaksa saya lebih banyak mencari cara mengajukan pertanyaan dan godaan-godaan yang memancingnya terus mengalirkan memorinya di hadapan saya.
Deklarasi Garut
Isi deklarasi ini, kata Djaginduang sebelum membacakan secara lengkap, sebetulnya fokus pada penguatan kaderisasi, kristalisasi dan konsolidasi IMM sebagai sebuah organisasi gerakan. Menyadari perlunya meningkatkan mutu “Ikatan” sebagai aparat pembaharuan dan pengabdian, IMM menegaskan sekali lagi strategi dasarnya untuk pembinaan organisasi. Pertama, kaderisasi. Kedua, kristalisasi, danketiga, konsolidasi.
Membina setiap anggota IMM sebagai kader yang taqwa kepada Allah dan sanggup memadukan intelektualitas dengan ideologi, karena suksesnya perjuangan Umat Islam Indonesia banyak ditentukan oleh kesanggupan para inteligensinya untuk selalu berjuang dengan landasan ideologi Islam.
Membina setiap anggota IMM sebagai subyek dan aktifis Ikatan” yang setia sepenuhnya kepada ideologi dan loyal kepada organisasi. Pengalaman dan sejarah menunjukkan bahwa untuk mencapai sasaran perjuangan organisasi sebagai aparat untuk mencapai sasaran tersebut, harus didukung oleh anggota yang meyakini kebenaran ideologi dan mengamalkannya serta aktif menunjang setiap aktivitas gerakannya.
Terus menerus menyempurnakan dan menertibkan organisasi, sehingga sebagai aparat perjuangan mampu mengantarkan “Ikatan” dalam mencapai tujuan perjuangan.
Deklarasi Baiturrahman
Menurut Djaginduang Dalimunthe, Deklarasi Baiturrahman (dilaksanakan di sebuah masjid bernama Baiturrahman, di Semarang), adalah rewind dari produk-produk permusyawaratan sebelumnya. Naskahnya agak panjang karena sekaligus juga mendeskripsikan tantangan saat itu dan proyeksi ke depan. Beliau pun membacakan secara lengkap:
“Sejarah Perjalanan Ikatan dimulai dengan Dekalarasi Kota Barat, Solo, 5 Mei 1965 yang berisikan hasrat dan tekad kami untuk mewujudkan satu wadah pembinaan generasi muda Nasional yang kemudian kami namakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Walaupun masih dalam usia muda, namun kami sadari, bahwa segenap idea dan cita yang dilahirkan, dikembangkan dan diperjuangkan oleh pewaris Nusantara yang terdahulu, yang bertekad untuk mewujudkan satu Bangsa Indonesia yang besar dengan satu tata masyarakat yang baru yang damai, adil sejahtera dalam naungan ridho Ilahi. Kami mengemban idea dan cita yang dikembangkan oleh K.H.A Dahlan pendiri PersyarIkatan Muhammadiyah.
Kami mendukung dan mengemban pula segenap idea dan cita yang didengungkan pada proklamasi 17 Agustus 1945, pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, pada hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, bahkan idea dan cita yang diperjuangkan oleh para Pahlawan Nasional yang terdahulu.
Deklarasi Kota Garut, 28 Juli 1967, berisikan hasrat dan tekad kami untuk menjadikan Ikatan sebagai aparat pembaharu, satu proses yang selalu dituntut oleh satu bangsa ataupun satu kaum yang selalu menginginkan kemajuan.
Demikian pula kami tegaskan dalam deklarasi tersebut, satu identitas kepribadian Ikatan yang menuntut setiap pendukung Ikatan untuk membekali dan melengkapi dirinya dengan kemantapan aqidah serta dengan kematangan intelektual, sebab kami yakin bahwa tantangan kehidupan masa kini dan mendatang hanya akan bisa dijawab oleh pribadi-pribadi yang matang, dewasa dalam keharmonisan serta perpaduan antara aqidah dan intelektualitas.
Di tengah-tengah kepanikan umat dewasa ini akibat krisis kependudukan, moneter, pangan sumber-sumber alam yang tak tergantikan serta lingkungan hidup, maka kami berpendapat bahwa sebenarnya dibalik segala krisis yang disadari atau tidak, diakui atau tidak justru merupakan krisis utama, yakni krisis kemanusiaan.
Tanpa diakuinya krisis kemanusiaan ini, maka krisis-krisis tersebut di depan tadi akan merupakan lingkaran setan tanpa akhir. Krisis kemanusiaan ini timbul akibat modernisasi tanpa arah ataupun sebagai akibat dipaksakannya suatu sistem hidup yang kurang memperhatikan faktor waktu, tempat dan kemampuan, dengan hanya mementingkan tujuan-tujuan jangka pendek. Krisis ini mulai timbul akibat cara berfikir yang terlalu rational dan mekanis sebagai bagian dari suatu program hidup yang pragmatis, materialistis, dimana manusia menjadi semakin kehilangan cakrawala hidup dan idealismenya.
Oleh karena itu Ikatan menyadari bahwa disamping tugas dan kewajiban kita untuk memberikan sumbangan dalam wujud sarana-sarana fisik di dalam pembangunan bangsa, maka kaum muslimin Indonesia mempunyai kewajiban pula untuk memberikan sumbangan dalam bentuk pembinaan manusia-manusia Indonesia baru yang tidak saja berilmu dan berkemampuan ketrampilan tapi juga memiliki sikap/sistem nilai budaya yang insani yang akan mampu memberikan arah, struktur dan percepatan yang proporsional dalam pembangunan.
Dalam usaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur material dan spiritual berdasarkan Undang-undang 45 dan Pancasila, Ikatan beranggapan bahwa azas kekeluargaan dalam demokrasi Pancasila seyogyanya tidak diartikan sebagai suatu status hierarkis administrasi pemerintahan, melainkan sebagai suatu bentuk persaudaraan yang universal yang bernilai filosofis.
Kaum muslimin Indonesia mempunyai tanggungjawab moral untuk memberikan sumbangan yang berwujud satu perangklat sistem nilai yang tangguh yang kita gali dari khasanah system iman dan islam bagi dasar filasafat persaudaraan universal yang tersebut di atas.
Proses perubahan sosial adalah suatu proses yang selalu terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia itu. Proses ini dapat terjadi secara alami namun dapat pula pada suatu waktu dan tempat, didorongkan atau dilaksanakan baik dalam arah, struktur maupun faktor percepatannya.
Diperlukan suatu kemampuan, keuletan serta seni untuk dapat membawakan diri dalam segala macam bentuk perubahan tersebut di atas agar peran dan fungsi Ikatan sebagai aparat Islamiah dan amar mahasiswa’ruf nahi mungkar tidak berhenti karenanya.
Dalam keadaan semacam itu jangan sampai Ikatan kita kehilangan motivasi, arah serta gairah maupun dinamika hidup perjuangannya.
Kami generasi awal yang telah mengantar kelahiran dan perjalanan hidup Ikatan sampai hari ini dan kami generasi penerus yang kini memegang pimpinan kembali Ikatan senantiasa bertekad untuk mengemban amanah perjuangan ini demi kelangsungan peran dan fungsi Ikatan dalam masyarakat yang selalu berubah dan berkembang”.
Menyebarluaskan
Tak lama setelah beroleh dokumen saya berfikir untuk mencari cara penyebarluasan di antara sesama kader. Betepatan sebuah acara Darul Arqam Dasar (DAD) yang akan diselenggarakan oleh Ketua PC IMM Kota Medan Amirsyah Tambunan, saya pun meminta agar materi ceramah yang ditugaskan kepada saya dirubah menjadi produk-produk permusyawaratan Ikatan.
Saya meminta bantuan rekan alm Mohd Natsir Isfa yang waktu bekerja sebagai jurnalis di RRI Medan agar mencari seorang pembaca berita untuk membacakan semua naskah deklarasi dengan diiringi lagu-lagu IMM sebagai backsound untuk direkam. Done !!!!!
Rekaman tulah yang saya perdengarkan kepada peserta DAD untuk kemudian didiskusikan secara mendalam. Rekaman satu deklarasi saya ulangi dua kali agar semua peserta beroleh pemahaman dengan baik. Kala itu cara saya berceramah dianggap sangat memukau, dan untuk menggandakan rekaman itu tidaklah begitu mudah bagi kami saat itu. Tetapi kepada Ketua PC IMM Kota Medan Amirsyah Tambunan saya berikan satu foto copy lengkap dokumen itu.
Tidak Suka Menonjolkan Diri
Belakangan sejumlah deklarasi yang dilahirkan oleh generasi penerus IMM, apakah Deklarasi Kota Malang yang juga dikenal dengan nama Manifesto Kader Progresif, Deklarasi Kota Medan, dan Deklarasi Setengah Abad IMM, semuanya bertolak dari tradisi melahirkan deklarasi sejak awal sejarah IMM,
Ketika beberapa kali bertemu dengan beberapa tokoh IMM segenerasi beliau, saya selalu beroleh pertanyaan “Apa khabar Djaginduang Dalimunthe?” Rekan-rekan seperjuangan beliau dari berbagai organisasi di Sumatera Utara, saat saya pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum Dewan Pengurus Angkatan 66 Sumatera Utara, selalu mengajukan pertanyaan yang sama.
Djaginduang Dalimunthe adalah salah seorang dari ashabiqunal awwalun IMM di Sumatera Utara yang bagi saya sangat teguh memegang prinsip dan memiliki daya tahan untuk hidup dalam kesederhanaan hingga akhir hayat. Beliau tidak suka menonjolkan diri. Surgalah tempatmu, seniorku. Allahummaghfirlah, warhamh, wa’afih, wa’fuanh. (*)
Cacatan in memoriam ini ditulis Shohibul Anshor Siregar, Ketua DPD IMM Sumut Periode 1986-1988.