Kajian-kajian modern mengenai sejarah sains menunjukkan bahwa penelitian saintifik di dunia Islam terus berlanjut hingga abad ke-16 m. Namun, buku-buku sejarah tentang peradaban Islam terus menerus mengulangi dan memperluas teori dominan yang mengatakan bahwa konsolidasi pandangan dunia Islam sejak abad ke-11 telah menyebabkan stagnasi sains-sains rasional. Teori ini bahkan mengasumsikan adanya kontradiksi esensial antara sains dan Islam, dan merupakan bagian dari pandangan lazim dalam historiografi pasca-pencerahan yang menetang sains dan agama pada umumnya dalam peradaban-peradaban pasca-Abad pertengahan.
Berdasarkan berbagai penuturan yang didasarkan pada teori ini, kegiatan-kegiatan saintifik di masyarakat-masyarakat Muslim secara konsisten ditentang, konon oleh pemuka Islam. Pada kenyataannya, kegiatan-kegiatan saintifik tersebut tetap berlanjut di lingkungan kebudayaan Islam, meskipun di pandang oleh teori ini sebagai hasil yang tidak disengaja. Sekalipun demikian, di samping sifat kontra-intuitifnya yang tampak jelas, teori ini tak bisa menjelaskan banyaknya bukti yang mengukuhkan terjadinya kebangkitan, bukannya kemunduran, sains di Dunia Islam setelah abad ke-11. Bukti lebih jauh menunjukkan bahwa kegiatan saintifik terintergrasi dengan kehidupan intelektual masyarakat Muslim dan bukan bersifat marginal dari arus utama. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan yang berbeda terhadap kajian tentang hubungan sains-agama dalam Islam, sebuah pendekatan yang memeriksa baik lingkungan budaya maupun interaksi di antara berbagai dinamikan budaya yang bekerja didalamnya.