Indonesia sebagai salah satu Negara yang sedang membangun di kawasan Asia Tenggara pernah dituduh menerapkan apa yang disebut ersatzs capitalism atau pseudo capitalism (kapitalisme malu-malu).
Dalam bukunya “The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia” (1988), Kunio Yoshihara menganggap pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak efisien, dan ini berdampak pada kemampuan pembangunan ekonomi di masa depan. Kunio Yoshihara adalah salah seorang penganjur yang kuat untuk penerapan kapiltalisme secara total dengan tiga resep: pertama, menanggulangi keterbelakangan teknologi; kedua, memperbaiki kualitas intervensi pemerintah; ketiga, menghapus diskriminasi terhadap orang-orang keturunan Cina.
Ketiga faktor itu dianggapnya dapat merombak watak pembangunan yang tidak efisien untuk berubah menjadi kapitalisme yang tak berbeda dengan di Jepang dan dunia Barat pada umumnya. Dengan mudah ia berkata, bahwa hambatan sistem sosial dan politik harus dihapus agar kapitalisme yang dinamis dapat tumbuh.
Kelihatannya nasehat Kunio Yoshihara itulah yang kini diikuti oleh Indonesia. Hasilnya sudah semakin jelas, antara lain bentuk nyata pengangkangan terhadap amanat konstitusi dan munculnya pertumbuhan eksklusif di tengah kemiskinan massal dan rakyat miskin dipaksa berkompetisi untuk memperebutkan hak-hak normatif saja semisal pendidikan, kesehatan dan mendapatkan kebutuhan hidup sehari-hari yang sesungguhnya dijamin dan menjadi tanggungjawab negara.
Keterbelakangan Teknologi. Sejarah pembangunan di Indonesia memiliki keberangsuran untuk pada akhirnya menjadi sangat neoliberal, menjauh dari watak asli yang digariskan oleh konstitusi, yakni ekonomi berbasis kekeluargaan (kebersamaan) dengan wadah koperasi sebagai sokoguru. Gagasan-gagasan globalisasi malah semakin memastikan ketersingkiran rakyat mayoritas, dan tak beruntungnya, Indonesia berada pada posisi at the point of no return untuk program yang dikendalikan oleh Negara-negara besar itu. Ini tak lain dari brutalitas kapitalisme yang akan memaksa mayoritas rakyat Indonesia akan kembali menjadi budak di negeri sendiri.
Dengan alasan keterbelakangan teknologi dan modal, Indonesia menjadi Negara yang sangat tergantung kepada asing. Ini sesuatu yang sangat berbeda dengan ungkapan “go to hell with your aids” yang diucapkan Bung Karno dalam menilai neo-imperialisme dan neo-kolonialisme yang dibalut halus oleh kerjasama-kerjasama bilateral dan unilateral terkait teknologi dan permodalan.
Sebagai interpretator kharismatik dan paling berpengaruh untuk konstitusi Indonesia, ditambah dengan otoritasnya sebagai Presiden, Soekarno tak hanya menjelaskan tata dunia yang harus dibangun berbasis keadilan dan menawarkan Pancasila kepada dunia melalui Majelis Umum PBB dalam sebuah kesempatan penting (Sidang Majelis Umum PBB Ke XV). Ia juga sangat aktif memerangi gagasan dan tindak-tanduk neo-imperialisme dan neo-kolonialisme sebagaimana tercakup dalam “jimat” Trisaktinya (berdaulat politik, berdaulat ekonomi, dan berdaulat budaya).
Ada benang merah antara pidatonya To Build The World A New di Majelis Umum PBB dengan buku yang ditulisnya berjudul Sarinah, dan inisiatifnya membangun Masjid Istiqlal, Stadion Gelora Utama Bung Karno, Tugu Monas, Hotel Indonesia, dan sebuah pusat perbelanjaan dengan konsep murah-meriah-berkualitas untuk bangsa, yakni Sarinah, yang kesemuanya menunjukkan rujukan pada gagasan trisakti.
Bung Karno juga menunjukkan tidak asal bicara tentang keadilan dalam tata dunia. Selain tindakan-tindakannya yang mendunia, ia juga melakukan kebijakan yang mengubah strutur ekonomi dan keekonomian bangsa antara lain dengan pembentukan ekonomi benteng, sebuah program yang mengadvokasi dan memberi akses serta permodalan bagi kalangan pribumi agar mampu tumbuh menjadi pengusaha yang kuat dan tangguh mengiringi kemerdekaan Indonesia sesuai proklamasi dan jabaran trisakti. Indonesia terjajah selama sekian lama menerapkan tiga hukum diskriminatif (hukum khusus untuk Eropa, khusus untuk Timur Asing dan hukum untuk priboemi) yang menyebabkan Indonesia menghadapi ketidak-adilan ekonomi secara struktural. Semua gagasan dan cita-cita besar Bung Karno kandas atas nama pembangunan di tangan rezim yang silih berganti.
Akhirnya kini watak (baru) pemerintahan Indonesia ialah kompradorisasi yang menyahuti penuh antusias logika pertumbuhan yang didasarkan pada teori besar trickle down effect. Teori ini terbukti menyesatkan dunia dan bertanggung-jawab atas ketimpangan struktural yang parah dan berlangsung secara kontinum (tanpa batas), baik di seluruh belahan dunia maupun internal semua negara.
Brutalitas kapitalisme muncul di Indonesia sejak awal yang menyebabkan kekayaan sumberdaya alam tidak menjadi kebahagiaan bagi rakyat. Koperasi ditelantarkan dan serpihan-serpihan yang dianggap menjadi jatah pribumi diatur sedemikian rupa dengan transaksi-transaksi gelap antara wakil-wakil kapitalis dengan tokoh-tokoh politik nasional di lembaga perwakilan untuk memastikan Negara sebagai komoditi bagi pemodal. Gejala ini menguat tanpa terkendali setelah kekuatan-kekuatan politik dunia berhasil melegitimasi liberalisi demokrasi di Indonesia.
Negara manakah di dunia ini yang tak mengeluh tentang teknologi dan modal? Jika Negara itu tak menjadi budak bagi yang lain, itu artinya ada inisiatif dan iktikad yang kuat untuk membangun kemandirian. Pengalaman panjang di bawah kekuasaan VOC sebetulnya lebih dari cukup untuk menyadarkan Indonesia bahwa pembangunan bukanlah keberhasilan membawa kapitalis dunia menjadi raja yang menentukan arah perjalanan Indonesia dalam ketergantungan.
Keseriusan dan kejujuran Negara sangat ditunggu untuk merombak struktur ekonomi dengan pilihan investasi yang tepat untuk memberdayakan rakyat. Tiga puluh tahun lalu Indonesia adalah sebuah raksasa ekonomi dan Cina beserta India berada jauh di bawah grade kemampuan Indonesia. Tetapi kini Vietnam yang babak-belur dalam perang melawan hegemoni Amerika kini sudah menyamai Indonesia dalam banyak hal. Belum lama ini Wapres JK menyebut fakta kesenjangan structural, tetapi tidak ada bahasa ketersinggungan yang akan ditindak-lanjuti dengan kebijakan menghadapi fakta tak terbantahkan bahwa hanya 1 % (satu persen) warga Negara Indonesia yang secara kukuh menguasai asset dan perputaran ekonomi sebesar 50 % (lima puluh persen).
Intervensi pemerintah.
Dalam catatan sejarah tidak dapat dipungkiri mutlak pentingnya peran dan dukungan serta keterlibatan penuh dari militer dalam kepolitikan otoritarianisme-birokratik selama Orde Baru. Rezim itu pada dasarnya adalah rezim militeristik yang tidak bersedia disebut sesuai sifatnya itu. Memang, militer, tak diragukan lagi, adalah salah satu kelompok terpenting pada masa itu dan pula yang paling memenuhi persyaratan dan kapabilitas untuk memikul beban berat yang· mesti diemban oleh Orde Baru dengan tekadnya untuk mensejahterakan melalui pembangunan sambil mencaci Orde Lama dengan predikat komunistis sejalan dengan peta global perang dingin dunia yang terpilah. Tetapi militer tidak hadir tiba-tiba saat Soeharto naik tahta. Jenderal AH Nasution banyak bercerita tentang gagasan Dwi Fungsi ABRI. Itulah raison d’etre (alasan pembenar) keterlihatan langsung militer dalam politik.
Menyadari militer sebagai salah satu kekuatan politik yang tangguh sejak Demokrasi Terpimpin (guided democracy) bikinan Soekarno untuk memasilitasi angan-angannya menjadi semacam “raja” baru Indonesia merdeka, peran militer dalam birokrasi bahkan sudah dirintis sejak awal sebagaimana diterangkan Sundhaussen (1982) dalam The Road to Power: Indonesian Military Politics, 1945-1967.
Yahya A.Muhaimin dalam kuliahnya (Militer di Negara Berkembang) di Fisipol-UGM, tanggal 2 dan 9 Mei 1993 mencatat banyak hal yang kemudian dikenali menjadi faktor kendala dengan menitik-beratkan profesionalisme militer yang secara inheren terdapat semacam technical inability to administrate, di samping sebenarnya juga tak dapat dipungkiri lack of legitimacy to govern. Alasannya sederhana, bahwa kehidupan sosial dan politik di luar kehidupan milter itu jauh lebih kompleks daripada kehidupan militer itu sendiri, meski kaum militer selalu merasa dirinya suprematif dan serba mampu serta serba bisa. Akibatnya kelak dapat dirasakan bahwa begitu besar penelantaran dimensi-dimensi pembangunan sesungguhnya akibat penerapan supremasi militer ini. Ini bukan pengalaman khas Indonesia saja, bahwa demokrasi yang dibingkai sebatas definisi terbatas berdasarkan asa keseragaman di bawah otoritas petafsir tunggal yang tak memberi ruang toleransi atas perbedaan secara sehat, begitu buruk akibatnya.
Soeharto tentu menyadari hal ini, dan karena itu melakukan kombinasi tim. Karena itulah militer akhirnya tetap merasa perlu berkolaborasi dengan kalangan sipil tertentu untuk menutupi kelemahan. Di sinilah titik awal hadirnya teknokrat yang dipilih dari kalangan yang berfikiran linear dan para pengagum teori trickle down effect yang mengutamakan pertumbuhan di atas segalanya dengan membuka pintu lebar-lemar kepada modal asing tanpa dispilin yang ditentukan secara imperatif oleh konstitusi.
Di tangan mereka pembangunan adalah pertumbuhan yang sangat ekslusif. Teknokrat menjadi pilihan didasarkan pada pengalaman ketidak-puasan terhadap kalangan politisi sipil. Politisi sipil sudah terlanjur dianggap kedodoran dalam mengelola politik dan ekonomi Negara. Teknokrat dan militer tampaknya mempunyai orientasi yang lebih mungkin dipersamakan ketimbang militer-politisi sipil. Asumsi dan kolaborasi ini berlangsung tanpa kritik dan perlawanan yang berarti hingga perubahan peta global memaksa Indonesia berubah dengan faktor pemicu gerakan mahasiswa tahun 1998.
Apa yang berbeda dengan pemerintahan sekarang? Kita mungkin bisa melihat agenda awal Presiden Jokowi mengagendakan pembicaraan pada berbagai forum internasional. “We are waiting for you in Indonesia. We are waiting for your investation”, adalah dua kalimat kunci menandai kehadiran Presiden Jokowi di pentas-pentas internasional yang menunjukkan watak kompradoritas.
Dalam waktu yang sangat singkat Cina telah menghubah struktur kebijakan politik dan ekonomi Indonesia dan memastikannya menjadi ketentuan imperatif. Untuk salah satu kasus kehadiran Cina di Indonesia, Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan persoalan pembangunan kereta api cepat Bandung-Jakarta. Bahkan, ia mempertanyakan kelayakan Cina disebut sebagai investor. Apakah urgen membangun jalur kereta api cepat yang menghubungkan Bandung-Jakarta sedangkan jalan tol Cipularang, kereta api yang ada sekarang, dan pesawat yang terbang Jakarta-Bandung PP sudah cukup memuaskan.
Biaya pembangunan kereta cepat itu 5 miliar dolar AS (Rp 78 triliun), tidak berasal dari pengalihan subsidi BBM, melainkan setoran equity 25 % konsorsium 4 (empat) BUMN senilai hampir Rp 19 triliun. Sedangkan sisanya (75 %) berasal pinjaman dari Cina kepada 4 BUMN tersebut yang harus dilunasi selama 60 tahun. Anehnya kontraktor pembangunan kereta cepat itu adalah Cina sendiri yang berdasarkan pengalaman di mana-mana di Indonesia, akan sekaligus juga mebawa tenaga kerja dari negaranya. Sekiranya kontraktor itu lalai atau wanprestasi mengerjakan proyek kereta cepat itu, apa yang akan terjadi dengan pinjaman kepada konsorsium 4 BUMN itu?, Tanya Yusril Ihza Mahendra. Baginya tak mustahil Cina akan akuisisi saham keempat konsorsium BUMN tersebut. Maka, Cina dapat menjadi penguasa BUMN.
Pemerintah menunjukkan antipatinya terhadap subsidi sebagai alasan untuk memajukan pembangunan Indonesia. Filosofi itu sangat aneh dianggap oleh dunia internasional. Sebagai perbandingan, Malaysia hingga kini masih melakukan kebijakan subsidi sebesar RM 24.933.000.000 untuk jenis-jenis kebutuhan dasar rakyat, antara lain (a) Liquified petroleum gas, solar dan bensin sebesar RM 10.000.000.000 (40 %); (b) Bantuan pendidikan RM 7.101.000.000 (28 %); (c) Bantuan Sosial lainnya RM 2.327.000.000 (9 %); (d) Subsidi selisih suku bunga dan listrik RM 1.514.000.000 (6 %); (e) Padi, beras, gula dan tepung RM 2.0131.000.000 (8 %); (f) Skema stabilisasi minyak sayur RM 828.000.000 (3 %); (g) Aneka Insentif RM 629.000.000 (2 %); (h) Lainnya 503.000.000 (2 %).
Pengaturan sumberdaya dan sektor strategis memerlukan tinjauan radikal, karena Negara mengelola ekonomi agar setiap warga memiliki peluang (equal access) dalam memproduksi dan menikmati hasil dari ekonomi. Sistem ekonomi Indonesia mengatur dengan tegas sumber ekonomi apa saja (SDA dan cabang produksi penting) yang dikuasai oleh Negara, bagaimana cara mengelolanya dan digunakan untuk apa saja seperti kekayaan alam (air, minyak, tambang, laut dan sebagainya), dan cabang produksi penting seperti perbankan dan keungan, transportase, dan lain-lain.
Kini orang semakin lupa dan tak sadar bahwa untuk kesejahteraan seluruh rakyat system ekonomi Indonesia mestinya wajib menempatkan pentingnya peran-negara yang tidak hanya sekadar ditunjukkan dengan eksistensi BUMN dan BUMD yang di dalamnya Negara menjadi salah satu pelaku eknomi, tetapi juga mengatur strategi dan kebijakannya untuk pengaturan kepemilikan, pengaturan produksi dan konsumsi nasional dengan tujuan akhir kesejahteraan rakyat.
Mestinyalah BUMN dan BUMD menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan ekonomi dan dalam mengelola berbagai sector strategis. Pembangunan BUMN dan BUMD harus menggunakan pendekatan sinergi di antara sesama BUMN dan BUMD sebagai unit usaha yang terintegrasi dengan tanggungjawab BUMN dan BUMD lain, yang semestinya memiliki backward dan forward linkage di antara sesamanya. Misalnya, harus ada strategi terintegrasi antara pengembangan BUMN dan BUMD migas dan tambang dengan BUMN dan BUMD pengelola migas (Pertamina) dan BUMN dan BUMD pengguna hasil tambang (PLN). Begitu juga BUMD perbankan dengan unit-unit pemerintahan yang bekerja pada level ekonomi kerakyatan. (Bersambung)
Lihat: Brutalitas Kapitalisme di Indonesia (2)
Shohibul Anshor Siregar, Penulis adalah dosen FISIP UMSU.