Pada bagian pertama tulisan ini telah dikemukakan bahwa buku “The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia” (1988) yang ditulis oleh Kunio Yoshihara menganggap kapitalisme Indonesia yang bersifat ersatzs atau pseudo capitalism perlu dirubah dengan tiga rekomendasi, yakni menanggulangi keterbelakangan teknologi, memperbaiki kualitas intervensi pemerintah, dan menghapus diskriminasi terhadap orang-orang keturunan Cina.
Ketiga faktor itu dianggapnya dapat merombak watak pembangunan yang tidak efisien untuk berubah menjadi kapitalisme yang tak berbeda dengan di Jepang dan dunia Barat pada umumnya. Jalannya ialah sistem sosial dan politik harus dibangun sedemikian rupa agar kapitalisme yang dinamis dapat tumbuh. Rekomendasi Kunio Yoshihara tak sepenuhnya melakukan pemilahan berdasarkan peran keturunan Cina di berbagai Negara di Asia tenggara. Karena pada dasarnya diskriminasi terhadap keturunan Cina di Indonesia malah adalah sebuah penegasan penting atas penguasaan mereka atas ekonomi.
Dominasi Etnis Cina.
Sejak zaman penjajahan Belanda diskriminasi yang terjadi malah dalam bentuk penempatan orang yang berasal dari Timur Asing termasuk keturunan Cina sebagai warga kelas satu. Dampaknya sangat buruk hingga hari ini. Diskriminasi yang sesungguhnya malah akan kelihatan jika memeriksa tidak pada bagian hilir seperti selama ini diteriakkan dengan amat bersemangat oleh kalangan tertentu. Bukankah hasil diskriminasi jika setiap tahun pengumuman nama orang terkaya di Indonesia mutlak didominasi oleh kerutunan Cina?
Dalam dialog yang diselenggarakan oleh Karni Ilyas melalui program ILC yang dia asuh (13 Januari 2016), Yusril Ihza Mahendra memberi data bahwa 0,2 % orang Indonesia menguasai 74 % dari keseluruhan tanah melalui konglomerasi, real-estate, pertambangan, perkebunan sawit, HPH dan sebagainya. Ini bom waktu, katanya, apalagi, maaf-maaf kalau memakai bahasa lama, mereka yang 0,2 % itu non primbumi. Karni Ilyas menimpali, 50 % kekayaan Indonesia hari ini adalah milik 1 % warga negara.
Ekonomi konstitusi wajib ditegakkan. Pilar kewajiban sosial ekonomi pembangunan wajib dengan kehadiran pemerintah untuk pengaturan ekonomi. Di antaranya dengan pelaksaan kewajiban yang dituntut pasal 23 ayat (1) tentang kewajiban mengelola anggaran (APBN dan termasuk APBD) untuk kesejahteraan; pasal 27 ayat (2) tentang hak warganegara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tidak justru hanya melihat keniscayaan persaingan di pasaran kerja berbasis persaingan sengit saling mengeliminasi. Juga pasal 28 tentang kewajiban pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar. Pasal 31 tentang hak mendapatkan pendidikan bagi seluruh warga Negara. Pasal 34 tentang kewajiban menjamin fakir miskin dan anak terkantar untuk mendapatkan kebutuhan dan pelayanan dasar. Pengaturan kepemilikan dan struktur ekonomi, antara lain ditegaskan oleh pasal 33 ayat (1) tentang pengelolaan ekonomi berbasis kebersamaan; pasal 33 ayat (2) tentang penguasaan Negara atas cabang produksi penting; pasal 33 ayat (3) penguasaan dan kepemilikan Negara atas kekayaan alam.
Sistem ekonomi Indonesia perlu dibangun kembali dengan filosofi yang sudah digariskan oleh konstitusi, untuk tujuan mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Sistem itu menegaskan asas kebersamaan, hak-hak warganegara atas kebutuhan dan pelayanan dasar, bukan dengan kompetisi. Sektor-sektor penting yang wajib diatur berdasarkan ketentuan imperative konstitusi itu antara lain pangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, energi, air dan lain-lain.
Globalisasi.
Apa yang oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai bom waktu tidak hanya berasal dari buruknya penguasaan minoritas keturunan Cina atas ekonomi. Kerjasama dalam pasar global juga menjadi ladang pembataian yang sistematis. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) misalnya, sebagai sebuah bentuk kerjasama ekonomi di antara negara-negara yang tergabung dalam ASEAN adalah keniscayaan integrasi ekonomi regional yang bertalian erat dengan globalisasi. Baik MEA mau pun agenda globalisasi lainnya bukanlah kemauan dan penyikapan atas fakta dinamika semata, melainkan lebih pada keniscayaan interaksi umat manusia yang terjadi secara global.
Banyak fakta menunjukkan optimisme yang berbaur dengan pesimisme secara silih berganti atau bahkan secara simultan di Negara-negara lemah seperti Indonesia. Upaya-upaya berbagai Negara yang bersifat ganda itu berawal pada kesadaran tentang ancaman-ancaman baru yang pasti muncul dengan sifat borderlessness hubungan antar Negara yang mengakibatkan degradasi peran Negara yang menyerah kepada inisiatif-inisiatif orang dan kelompok-kelompok dunia usaha yang bersama-sama berusaha menciptakan kebebasan dalam pasar.
Hampir bersamaan terjadi, bahwa pada satu pihak tampak berbagai Negara berusaha melakukan upaya yang mengarah pada gerakan sentrifugal (penyatuan menyeluruh), tetapi pada pihak lain juga melakukan usaha bersifat sertripetal (penyatuan kelompok atau rumpun khas menegasikan interaksi global). Kemenduaan ini tidak pernah berakhir sampai sekarang, dan umumnya optimisme dan pesimisme bukan sesuatu yang baru, melainkan watak Negara-negara dunia sejak awal yang lebih diperkuat sejak berakhirnya perang dunia ke II. Mereka yang secara tradisional berada pada wilayah lebih berkuasa dan lebih makmur, bergerak lebih maju dan lebih memastikan keabadian watak pemangsaannya berlindung di bawah aturan-aturan internasional yang mereka inisiasi untuk disetujui oleh semua Negara.
Itulah sebabnya berbagai kawasan di dunia telah lebih dahulu membentuk aliansi-aliansi spesifik yang menunjukkan kearenaan kawasan mereka sendiri yang lebih berkarakter spesifik dalam menghadapi globalisasi. Jika globalisasi dimaknai sebagai suatu situasi yang mempraktikkan perdagangan bebas, tanpa hambatan tarif (bea cukai) bagi Negara-negara anggotanya, maka segera saja akan terdapat banyak pilihan yang menyenangkan dan mencemaskan sekaligus.
Ada hal-hal yang sangat mendua. Dunia berbicara tentang polarisasi dengan rekomendasi kewajiban memanusiakan tata dunia antara lain dengan dimunculkannya program-program seperti MDGS (Millenium Development Goals) yang berakhir September 2015 yang meskipun tak dapat dipertanggungjawabkan nilai klaim keberhasilannya, serta-merta digantikan dengan model pembangunan berkelanjutan baru yakni Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah disahkan dan disepakati bersama oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjadi agenda pembangunan internasional selama lima belas tahun kedepan (2015-2030).
Baik MDGs maupun SDGs sangat mulia pada statemen dan publikasinya, namun secara substantif sangat tidak mungkin dilaksanakan karena struktur tata dunia yang tidak mungkin adil. PBB sudah membuktikan berulangkali kegagalannya sejak dibentuk pasca perang dunia II. Indonesia mencatatkan protesnya yang keras, baik melalui pembentukan aliansi strategis berbau sentimen di antara Negara-negara eks jajahan dan miskin di dua kawasan yang dinamai konferensi Asia-Afrika di Bandung, maupun melalui upaya-upaya diplomasi seperti yang terlihat sangat jelas dalam kecaman pidato-pidato para tokoh Indonesia di forum PBB itu (Soetan Sjahrir, Soekarno dan lain-lain) serta aksi keluar dari keanggotaan PBB meskipun Indonesia kembali bergabung.
Politik Penyingkiran.
Kita masih ingat penerapan dwi-fungsi ABRI zaman Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Sebetulnya model itu adalah sesuatu yang cukup menyimpang dari blue print yang ada dalam pikiran para tokoh utama pencetus seperti Jenderal AH Nasution. Sebagaimana diketahui, pada akhirnya Jenderal AH Nasution pun, bersama tokoh militer berpengaruh lainnya, diposisikan kurang lebih sebagai “musuh” pembangunan oleh rezim berkuasa. Tetapi rezim Orde Baru melakukan tidak sebatas eliminasi sistematis terhadap tokoh-tokoh militer berpengaruh.
Lebih luas dari itu, berlangsungnya mekanisme penyingkiran politik, menurut Guillermo O’Donnel (Modernization and Bureaucratic-Authorianism, Berkeley: Institute of international Studies, University of California, 1979) menyangkut tindakan pemerintah yang ditujukan untuk menyingkirkan sektor populer kota yang telah aktif sebelumnya dari area politik nasional. Dalam kebijakan birokrasi pemerintahan berlangsung pola bipolar and segmentary process (proses pemilahan dan penganak-tirian). Penyingkiran bermakna pemerintah secara konsisten menolak untuk memenuhi tuntutan-tuntutan politik yang dibuat oleh para pimpinan sektor ini. Ia juga berarti penghalangan akses sektor ini beserta pimpinannya terhadap posisi dalam kekuasaan politik yang memungkinkan mereka mempengaruhi secara langsung keputusan bagi kebijaksanaan nasional. Menyingkirkan politik dapat dilaksanakan dengan kekerasan secara langsung dan/atau dengan menutup saluran akses politik melalui pemilu…. menyingkirkan para aktor politik melibatkan suatu keputusan yang disengaja untuk mengurangi jumlah orang yang memiliki pengaruh penting dalam menentukan apa yang terjadi pada level kepolitikan nasional.
Dalam penerapan kebijakan bipolar and segmentary process pemerintah tidak hanya mengidentifikasi dan menghukum sesiapa yang dianggap musuh pembangunan sembari memberi reward kepada kelompok-kelompok yang memiliki potensi dukungan. Meskipun partai politik menjadi objek terpenting mekanisme penyingkiran politik Orde Baru, tetapi dampaknya begitu luas. Karena heterogenitas sekaligus juga dipertajam oleh sekat-sekat ideologis yang diciptakan dan semua itu dimaknai pembangunan.
Sesiapa yang tidak memiliki keseragaman dianggap musuh pembangunan dan perlakuan terhadapnya cukup tersedia di bawah tafsir hukum yang ditundukkan di bawah kepentingan penguasa belaka. Menurut Mochtar Mas’oed (1989) sikap anti-ideologis ini, dibarengi dengan munculnya sikap pragmatisme Orde Baru untuk lebih memusatkan perhatian pada perbaikan dan pembangunan ekonomi, disadari atan tidak telah menumbuhkan ideologi baru: ideologi pembangunan/modernisasi.
Barangali wajiblah bertanya, mengapa begitu marak kemunculan kelompok-kelompok radikal yang tak jarang diikuti dengan tindakan-tindakan repressif penghilangan nyawa orang di Indonesia? Apa yang mereka butuhkan jika bukan keadilan? Dengan sederhana memang seseorang dapat berkata “sesiapa yang melawan dihadapkan kepada hukum Negara, dan segera kita tingkatkan kewenangan alat Negara untuk melakukan tindakan sekeras mungkin untuk membungkam mereka semua”. Ini disharmoni nasional, yang akarnya ada pada takaran keadilan. Tidak tertutup kemungkinan proxy war melanda Indonesia, agar sesama anak bangsa saling menghancurkan. Negarawan perlu hadir di sini.
Penutup.
Brutalitas kapitalisme di Indonesia sudah menunjukkan keganasannya. Terjadi ketidak-merataan karena meskipun pertumbuhan cukup tinggi, namun terus diikuti oleh kesenjangan. Hampir 40 % rakyat masih tergolong miskin dan mendekati miskin. Fakta yang menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan dan kesempatan untuk mengecap pendidikan tinggi yang pada gilirannya memunculkan fakta lain tenaga kerja didominasi oleh lulusan pendidikan SD yang tak bersaing, menunjukkan absennya negara. PDB per kapita dan tingkat pendidikan berada pada posisi degradatif, di bawah posisi Cina dan disusul oleh Vietnam. Brutalitas kapitalisme di Indonesia juga telah melahirkan fenomena sensitif, yakni terjadi kesenjangan antara kawasan Barat dan Timur. Dalam banyak keluhan yang tak usai, hingga kini tidak ditemukan mengapa Negara tidak berhasil mengoptimalkan SDA sebagai modal pembangunan yang memakmurkan seluruh rakyat.
Kesalah-fahaman dalam kebijakan penciptaan lapangan kerja yang hampir tanpa arah, kalau bukan berlangsung dengan sendirinya, juga wajib dikoreksi. Asumsi yang kini dikembangkan ialah bahwa warga negara wajib berkompetisi, jika tak mampu yang terimamkekalahan. Iklim ini tidak dikehendaki oleh konstitusi. Brutalitas kapitalisme juga menyebabkan pertanian berkurang secata terus-menerus, bergeser ke sektor jasa (informal) tanpa jawaban yang pasti untuk merevitalisasi sehingga mampu menjawab ketahanan pangan.
Pada pembangunan setiap sektor keterpilihan kebijakan tidak memberi prioritas pada padat karya, dan akibatnya pertanian dan pengolahan tumbuh sangat rendah. Tidak ada rangsangan produktif pada sektor pertanian. Akibatnya Indonesia menjadi importir bahan pangan besar dunia. Nilai impor sangat besar dan tumbuh tinggi terus-menerus. Komposisi impor juga didominasi oleh bahan baku yang menyebabkan ketergantungan industri pada bahan impor. Jika diamati dengan cermat, ada resiko fiskal dan keuangan negara disebabkan peningkatan utang luar negeri yang tidak diimbangi oleh ekspor. Tidak salah berutang, tetapi utang pun memiliki kualitas.
Terakhir, peran negara pada sektor strategis yang terus-menerus berkurang. Ini adalah sebuah trend yang bertentangan dengan trend dunia. Di banyak negara minyak adalah dominasi National Oil Companies, seperti Iran dengan National Iaranian Oil Company, Saudi Arabia (Saudi Arabian Oil Company), Qatar (Qatar General Petroleum Corporation), Venezuela (Petroleos Venezuela S.A), Iraq (Ira National Oil Company), Kuwait (Kuwait Petroleum Company), begitu juga Negieria, Libya, Algeria, China, Rusia, Mexico, Rusia, Angola, Oman, Francis, Amerika dan lain-lain. (*)
Tulisan terkait: Brutalitas Kapitalisme di Indonesia (1)
Penulis adalah dosen FISIP UMSU.