Apakah para pemegang simpul otoritas dan kekuatan sosial politik di Indonesia merasa rugi jika misalnya Prabowo Subianto masuk dalam pemerintahan Jokowi-Ma’aruf dengan jabatan Menteri Besar, atau apa pun namanya, yang dalam posisi itu ia membawahkan para Menteri Koordinator? Apakah kalian juga merasa rugi jika semua partai yang lolos parliamentary threshold beroleh jatah menteri sesuai proporsi suara pemilu 2019?
Jika ini ternyata tak terterima, maka majulah ke pemilahan bangsa yang akan berdampak sangat besar dan beresiko amat buruk. Pengalaman politik dengan instrumen oposisi yang kuat akan sangat potensil terjadi ke depan, dan bagi orang yang amat memahami demokrasi secara murni, kondisi seperti itu hanyalah sebuah kenikmatan belaka.
Tulisan ini tak bertumpu pada pikiran demokrasi untuk demokrasi (democracy for democracy), melainkan demokrasi untuk maslahat bangsa (democracy for maslahah). Akan dibahas keuntungan dan resiko pilihan-pilihan tersedia pasca Pemilu Serentak 2019, yakni rujuk dan revitalisasi oposisi. Keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Terpulang kepada para pemegang simpul otoritas kekuatan sosial politik Indonesia akan berfikir pendek dan pragmatis atau sebaliknya.
Berfikir pendek dan pragmatis dalam konteks ini dimaknai sebagai konsekuensi logis dari atau implementasi prinsip winner takes all, (hak mutlak pemenang pemilu meraup semua simpul kekuasaan) sambil mengumbar sinisme komunikasi politik “kalau mau berkuasa tunggu saja 5 tahun mendatang ikut pemilu lagi dan jika bisa menang”. Tetapi dengan segenap pemahaman atas problematika terbesar bangsa ini, demokrasi untuk demokrasi, atau pemilu hanya untuk memosisikan yang menang adalah penguasa dan yang kalah harus tahu diri, terasa amat tak memadai. Prinsip itu malah sangat kekanak-kanakan.
Kenegarawanan
Indonesia terasa teramat kecil jika akan direduksi sebatas urusan menang kalah dalam pemilu, yang jika melihat proses pemilu serentak 2019 itu sendiri sesungguhnya dapat disimpulkan tak ubahnya hanya ibarat sebuah arena anak-anak nakal yang memilih tawuran karena tak memiliki sumber belajar untuk menjadi dewasa dan untuk sekadar membuktikan bahwa darah di sana berhasil lebih banyak ditumpahkan ketimbang darah yang mengucur di sini. Hanya dalam konteks itu semua diksi buruk bermunculan seperti gebuk, berantam, dan lain-lain. Urusan Indonesia jauh lebih besar untuk dipertanggungjawabkan ketimbang sebatas pengukuhan pemenang pilpres 2019 dan mandat yang tentu saja legalitasnya tak boleh dipandang enteng.
Indonesia memerlukan kepoloporan orang yang berfikir dan bertindak sebagai negarawan, tidak sebagai pengendus dan penggantang kekuasaan belaka, dan apalagi sebagai pemburu rente. Mulailah menyadari hakekat bernegara sambil mengapresiasi berapa banyak darah tertumpah dalam perjuangan mendirikan Indonesia.
Sebetulnya sebelum dan usai pertemuan Joko Widodo-Prabowo Subianto di stasiun MRT, berpidato dan makan siang di Jakarta, banyak orang telah berbicara tentang rujuk yang lebih populer dengan istilah Inggeris rekonsiliasi. Namun tak ada yang memiliki pandangan yang jernih ke depan. Misalnya, tidak ada proposal yang masuk pemberitaan media akan bagaimana setelah pertemuan, pidato dan makan siang untuk rancangan pemerintahan Indonesia ke depan dan terutama maslahat masa depan bangsa. Dangkalnya lagi, rujuk itu dipandang adalah bertemu dan berpidato di stasiun MRT, lalu dilanjutkan dengan makan siang. Selesai.
Dugaan tidak ada satu pun di antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang benar-benar berkeinginan untuk rujuk sungguh-sungguh, tentu ada dasarnya. Namun jika keduanya dihadapkan pada gambaran masalah rumit ke depan, ada harapan diskusi di antara mereka berdua malah akan dinilai menjadi sebuah keharusan oleh masing-masing pihak.
Asumsi ini ditegakkan dengan catatan bahwa kedua pemimpin ini adalah negarawan, bukan agen asing dan bukan boneka permainan bagi kekuatan-kekuatan pemburu rente dan eksploitator sumberdaya Indonesia secara sewenang-wenang.
Sudah barang tentu cita-cita pada orang-orang di sekeliling kedua tokoh ini tak hanya beraneka, bahkan mungkin saling bertabrakan. Katakanlah di pihak Joko Widodo, bahwa ketimbang memikirkan detil rujuk, tentu akan lebih banyak yang ingin mendahulukan pemaksaan tuntutan reward kekuasaan serta konsesi-konsesi tertentu dan malah memandang rujuk itu sebagai ancaman. Itu wajar, karena cita-citanya mungkin tak begitu panjang dan paling hanya mampu membaca proyeksi keuntungan pasca kekuasaan Joko Widodo 2024.
Otoritas dan kekuatan sosial politik yang lebih mengakar di kedua kubu sangat perlu menyadari keutuhan bangsa di atas riak-riak masa perkampanyean dan seluruh tuduhan khas rivalitas politik yang sudah dilalui dengan berbagai catatan. Let by gone be by gone. Saatnya menyembuhkan luka-luka itu. Otoritas dan kekuatan sosial politik non kepartaian di kedua kubu yang berjarak jauh dengan urusan politik praktis itu jangan lagi merasa lebih politisi daripada politisi sungguhan. Akhirilah manuever dan kembalilah menjadi rujukan afiliasi bangsa sebagaimana sejatinya.
Pemimpin-pemimpin paling senior pada kedua kubu, sedikit banyaknya pastilah sudah menyadari bahwa rivalitas yang amat liberal ini hanya menyuburkan perpecahan dan perpecahan itu sendiri wajib dibiayai dengan mahal di tengah tak terbantahkannya data orang miskin atau yang semakin miskin dengan populasi yang semakin besar. Pertanyaan untuk apa bernegara, untuk apa berpemerintahan, untuk apa berdemokrasi dan untuk apa berpemilu, harus digaungkan di sanubari jika taruhannya adalah penelantaran warga negara yang karena mengikuti patron elitnya telah suka rela memberi segala yang ia punya. Cukuplah semua pengorbanan itu.
Otoritas dan kekuatan sosial politik itu harus lebih dahulu meresapkan bahwa kebanggan karena dipuji dan disanjung sebagai salah satu negara demokrasi terbesar berulangkali sudah terbukti melahirkan sisi yang lain, yakni ketumpulan berfikir yang menggagalkan nalar untuk mencari jalan terbaik membela rakyat kecuali sebatas retorika yang penuh ketidak-terukuran.
Kepada mereka yang menduduki posisi simpul otoritas dan kekuatan sosial politik itu diharapkan jangan terus-menerus mengerdilkan diri. Majulah dengan proposal solusi untuk Indonesia. Beri Joko Widodo dan Prabowo Subianto pencerahan, dan satukan mereka dalam Indonesia menang dan Indonesia hebat tak hanya dalam retorika.
Demokrasi
Orang kebanyakan (awam) di Indonesia umumnya baru tahu, dan meski pun sudah tahu namun hingga saat ini masih merasa takut-takut berfikir (apalagi bertindak), bahwa demokrasi itu juga dapat bermakna kebebasan mengemukakan kritik kepada penguasa.
Ini adalah akibat arah budaya politik yang dikembangkan selama berpuluh tahun dalam kekuasaan rezim yang hanya sekadar berganti namun tak pernah membawa perubahan, hingga merasuk ke dalam sistem politik, dan akhirnya mengendap sendiri di alam bawah sadar. Tetapi banyak sumber belajar yang begitu besar memengaruhi cara berfikir dan kesadaran demokrasi. Dari berbagai pemberitaan media yang dibatasi, satu dua pokok pikiran revolusioner pencerahan lolos dari seleksi ketat yang diberlakukan, dan dari mimbar Mahkamah Konstitusi (MK) narasi tajam pemaparan kondisi Indonesia kontemporer dalam materi gugatan dari Tim Hukum 02 begitu kuat menghunjam sanubari bangsa untuk melejitkan perubahan sosial ke depan.
Bangunan oposisi Indonesia kini mulaiberoleh pegangan kuat. Bekerja saja dengan tekun dan terukur. Lakukan pengawasan seketat-ketatnya dan tanpa kompromi atas pelaksanaan semua program pemerintah. Pastikan disain dan postur anggaran berbasis kepemihakan rakyat. Jangan manut-manut saja kepada Presiden ketika ia mengajukan RUU apa saja. Ini bukan sebuah ancaman, melainkan jemputan logis revitalisasi demokrasi belaka dengan segenapkemanfaatannya yang tak terbantahkan.
Kritisi setiap regulasi mendadak sontak (Perppu) untuk disampaikan ancaman bahayanya kepada rakyat, Kualitas setiap Peraturan Pemerintah yang menjadi turunan dari setiap Undang-Undang jangan dilewatkan untuk dikritik. Begitu juga Kepres, pandangan dan apalagi pidato resmi Presiden yang disiarkan oleh media. Perilaku politik serupa harus dipastikan berlangsung dari pusat hingga ke daerah. Karakter dasar sebagai penyeimbang harus diinternalisasikan kepada setiap legislator dan kadar oposisionalitas terus dievaluasi.
Tentu saja oligarki kepartaian harus secara keras menampakkan sisi positif memberi indoktrinasi dan pendisiplinan kepada semua kader partai (eksekutif maupun legislatif) agar tidak ada yang berperformance memuakkan bagi masyarakat luas karena tak optimum menjalankan apa yang menjadi kewajibannya, apalagi tersangkut kasus amoral.
Melalui kantor KPK di Jakarta lazimnya publikasi operasi tangkap tangan dan ketersangkaan korupsi sangat dahsyat merontokkan citra dan wibawa partai. Maafkan mereka di sana baru bisa bekerja sebatas urusan remeh-temeh begitu. Hindarilah itu sejauh-jauhnya, bukan secara minimalis misalnya setelah kena OTT atau setelah menjadi tersangka langsung diberhentikan. Tindakan itu tidak banyak membantu pemulihan nama baik yang tercemar karena ulah sendiri.
Bagaimana pun juga Indonesia telah menyaksikan wakil-wakil partai di DPR mengamini RUU Pemilu yang diajukan oleh Presiden dan kemudian disahkan menjadi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang tampakya terlahir untuk beroleh banyak gugatan. Itu sekaligus menunjukkan kerangka filosofis, sosiologis, politis dan juridis pemilu yang buruk, yang datang dari presiden, justru diamini saja oleh wakil-wakil partai.
UU Pemilu yang untuk pertama kalinya berisi aturan yang menggabungkan pemilihan presiden, wakil presiden, legislatif ini memiliki banyak titik krusial yang menjadi perdebatan, yaitu penataan daerah pemilihan DPR, sistem pemilu, metode konversi suara, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), ambang batas parlemen (parliamentary threshold), serta verifikasi partai politik.
Tetapi meski mendapat banyak sorotan UU ini akhirnya disahkan pada 21 Juli 2017 yang segera saja diserbu gugatan bergelombang dari berbagai kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan sejak berusia 3 hari.
Indonesia juga sudah menyaksikan lemahnya wakil partai di DPR ketika berurusan dengan bobroknya Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tak optimum dalam penuntasannya hingga dugaan siluman yang menjadikan pemilu 2019 bobrok dan terburuk sepanjang masa hingga saat ini tidak beroleh kejelasan.
Rakyat juga mencatat dengan seksama, semua pihak yang berpura-pura sebagai oposisi mengaminitiadanya APBN Perubahan Tahun Anggaran 2019, dan turunannya juga sepi dari sorotan. Padahal sangat krusial menyelundupkan kebijakan berbau trading in influence (pembelanjaan untuk perdagangan pengaruh).
Jika Indonesia sudah cukup menyaksikan partai tak berarah jelas dalam memberi koreksi terhadap kekuasaan, kecuali selalu ingin ikut berkuasa dengan cara baik dan buruk sekali pun, seolah selalu merasa terlalu lama tak diundang ke istana dan sambil berteriak ini dan itu, maka modalitas untuk menjadi oposisi adalah isapan jempol belaka.
Hal pertama yang harus dimulai oleh partai yang akan mengambil kedudukan sebagai oposisi ialah berjuang membuat UU alokasi anggaran untuk partai Rp 1 Triliun setiap tahun agar tak lagi takut berada di luar pemerintahan. Dengan begitu tuduhan selama ini tentang mekanisme powersharing tak lebih dari pelampiasan keinginan untuk mencuri uang negara, tidak perlu terjadi lagi. Artinya, oposisi menyelamatkan negara dari salah satu unsur praktik politik yang amat tercela.
Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)