TAJDID.ID-Medan || Insiden tindakan intimidasi petugas kepolisian terhadap jurnalis Raden Armand, reporter indozone.id saat meliput Aksi Demo Tolak UU Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Sumatera Utara, Kamis (8/10/2020) mendapat kecaman dari banyak pihak.
Diketahui, oleh sejumlah polisi, Armand dipaksa menghapus sejumlah foto aksi kekerasan aparat terhadap pendemo yang tertangkap pada saat aksi tersebut.
Kecaman PWI Sumut
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Utara, Hermansjah mengutuk keras atas tindakan intimidasi petugas kepolisian terhadap jurnalis yang sedang melaksanakan kerja jurnalistik pada unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
“Saya mengutuk keras, wartawan bukan musuh, kenapa polisi menganggap wartawan itu musuh. Apa wartawan ikut melempar batu, apa wartawan melakukan kekerasan,”ujar Hermansjah, Sabtu (10/10) sore.
Menurutnya jurnalis dan pihak kepolisian dan jurnalis memiliki undang-undang saat bekerja. Sehingga tak seharusnya petugas kepolisian untuk bertindak semena-mena.
“Polisi tak boleh semena-mena. Wartawan itu memberitakan kedua belah pihak. Apalagi kedua belah pihak tidak benar, pasti diberitakan wartawan. Mulai mahasiswa anarkis, atau pendemo yang anarkis, begitu juga polisi yang bertindak tidak benar. Harusnya polisi bersikap arif menyikapi hal ini saat berada di lapangan,” kata Hermansjah.
Hermansjah menegaskan pada dasarnya wartawan itu bekerja berpedoman pada undang-undang nomor 40 1999 tentang pers dan wajib mendapatkan perlindungan.
Kecaman PFI Medan
Kecaman senada juga dilontarkan Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Kota Medan, Rahmad Suryadi. Ia mengatakan, kejadian seperti ini bukan kali pertama. Bahkan sudah beberapa kali menimpa anggota PFI Medan, termasuk Raden Armand yang merupakan anggota PFI.
Rahmad berharap oknum aparat lebih bertanggung jawab dalam bertugas dan tidak melakukan tindakan represif terhadap siapapun, terlebih terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas.
“Seharusnya oknum aparat sudah memahami bahwa kerja-kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tidak ada pembenaran untuk mengintimidasi jurnalis yang bertugas. Mudah-mudahan kejadian serupa tidak terulang lagi,” jelasnya.
Dengan ini PFI Medan memberikan pernyataan sikap sebagai berikut:
(1) Menyesalkan tindakan oknum aparat yang mengintimidasi dan menghalang-halangi kerja-kerja jurnalis saat melakukan peliputan demonstrasi menolak Omnibus Law di DPRD Sumut, Kamis sore (8/10).
(2) Mengimbau aparat penegak hukum agar memahami mekanisme kerja-kerja jurnalis yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, di mana saat kejadian korban sudah mengenakan ID Pers namun malah diminta untuk menghapus foto-foto kekerasan oknum aparat terhadap pendemo di kamera fotografer.
(3) Meminta kepada oknum pelaku intimidasi bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa anggota PFI Medan, Raden Armand reporter Indozone.id.

Seorang demonstran diamankan petugas kepolisian di depan Kantor DPRD Sumut, Kamis (8/10). / indozone.id/ Raden Armand
Pernyataan IJTI Sumut
Sementra itu terkait peristiwa intimidasi jurnalis ini, IJTI Sumut menyatakan sikap sebagai berikut:
(1) Mengutuk tindakan siapapun, baik dari aparat keamanan maupun masyarakat sipil yang melakukan intimidasi dan menghalang-halangi kerja-kerja jurnalis kapanoun dan dimanapun.
(2) Meminta Kapolda Sumatera Utara untuk mengusut anggotanya yang melakukan intimidasi terhadap jurnalis dalam aksi unjuk rasa penolakan omnibus law di Sumatera Utara.
(3) Menghimbau kepada seluruh rekan jurnalis dalam melakukan peliputan, untuk tetap mengenakan atribut jurnalis masing masing, dan berupaya sedapat mungkin untuk saling mengawasi satu sama lain agar bisa saling melindungi jika terjadi tindakan yang tidak diinginkan.
(4) Tetap mematuhi protokol kesehatan.
Pernyataan Sikap IJTI Sumut ini disampaikan Ketua Budiman Amin Tanjung, Sekretaris Hendri Sihombing dan Ketua Devisi Advokasi M. Harizal
Koronologi
Armand menuturkan, awalnya ia meliput di DPRD Sumut sekitar pukul 15.30 WIB. Saat meliput dia melengkapi dengan ID Pers, helm, dan patuh dengan protokol kesehatan.
Saat demo sudah rusuh, ada pendemo yang ditarik paksa seperti buronan, terus dipukuli oleh oknum aparat berpakaian seragam PDH. Momen inilah yang menurutnya langsung dibidik menggunakan kameranya. Namun selesai memotret, ia mengaku tiba-tiba ditarik oleh oknum diduga aparat berpakaian sipil.
“Lalu oknum tersebut mengatakan ‘Saya nggak mau foto itu ada, saya mau foto itu dihapus’. Saya ditarik sampai dekat DPRD Medan. Dan sudah ada sekitaran 5 oknum yang mengelilingi dan memaksa meminta hapus dan berusaha menarik kamera saya,” kata Armand.
“Jadi karena sudah dikepung, saya terpaksa menunjukkan hasil jepretan dan beberapa hasil jepretan dihapus. Setelah itu mereka pergi,” sebutnya.
Polda Sumut Minta Maaf
Terkait tindakan intimidasi jurnalis Raden Armand saat meliput unjuk rasa menolak Omnibus Law di depan Kantor DPRD Sumut, Kamis (8/10) kemarin Polda Sumatera Utara menyampaikan maaf.
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja, Sabtu (10/10) menyampaikan permohonan maaf secara pribadi kepada Raden Armand dan menyakinkan atas tindakan tiada unsur kesengajaan.
“Secara pribadi saya menyampaikan maaf kepada kawan jurnalis atas tindakan anggota di lapangan, tapi yakinlah tidak ada unsur kesengajaan disitu,” ujar Tatan.
Menurutnya, dalam situasi di lapangan terkadang anggota kepolisian kesulitan untuk saling mengenal. Sehingga bisa saja terjadi kesalahpahaman saat bertugas.
“Polda Sumut meminta kepada seluruh personel yang bertugas di lapangan agar lebih peka dan mengetahui tugas jurnalis. Semua kejadian itu hanyalah mis komunikasi , maka dari itu Polda Sumut meminta maaf atas kejadian yang menimpa rekan jurnalis foto,”katanya. (*)