TAJDID.ID~Medan || Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar, mengeluarkan kecaman keras terhadap implementasi hukum agraria di Indonesia. Ia menilai, negara secara sistematis gagal dalam menjalankan amanat konstitusional untuk melindungi hak ulayat masyarakat hukum adat, yang menyebabkan konflik dan kriminalisasi meluas di seluruh Nusantara, mulai dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua.
Baca juga: Gerakan Sosial Tuntut “Tutup TPL” Menanti Sensitivitas Politik Bobby Nasution, Berpotensi Eskalasi Jika Diabaikan
Kita menyaksikan praktik memilukan, seakan mengulangi kezaliman-kezaliman kolonial yang bercokol berabad-abad saat nilai ham dan keadilan masih dianggap urusan sampiran (ibarat dalam pantun).
Pernyataan ini dirilis sebagai respons atas pola konflik agraria yang konsisten terjadi di berbagai daerah, di mana hak kolektif masyarakat adat selalu tergerus oleh izin konsesi korporasi.
Krisis Konstitusional: Antara Janji dan Realita
Menurut Shohibul Anshor Siregar, akar masalah terletak pada sifat pengakuan hak ulayat dalam hukum positif yang sarat syarat dan ambigu. Walaupun Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menjanjikan perlindungan, Pasal tersebut dibebani oleh klausa yang bias.
“Amanat konstitusi adalah janji negara. Namun, janji itu disandera oleh tafsir sepihak atas frasa ‘kepentingan nasional’,” tegas Siregar. “Frasa ini telah menjadi gerbang legalisasi bagi industri ekstraktif—perkebunan sawit di Kalimantan, tambang di Papua, hingga industri pulp di Toba—untuk mengklaim wilayah adat. Kepentingan profit korporasi selalu ditempatkan lebih tinggi daripada kepentingan sosial dan kultural komunitas adat.”
Siregar menekankan bahwa ini bukan kasus tunggal di Toba, melainkan pola struktural yang dialami oleh masyarakat Dayak, Melayu, Malind, dan komunitas adat lainnya di Indonesia.
Syarat Administratif yang Mencekik
Salah satu mekanisme kegagalan yang disoroti Muhammadiyah adalah prosedur pengakuan administratif. Shohibul Anshor menilai Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang pengakuan masyarakat adat tidak membumi.
“Model pengakuan yang meminta peta skala besar, dokumen tertulis, dan syarat formal lainnya, adalah bentuk ketidakadilan prosedural,” jelasnya.
“Sistem hukum adat mayoritas, termasuk Batak Toba dengan sistem Dalihan Na Tolu-nya, berbasis lisan, genealogis, dan ritual. Negara meminta bukti yang bertentangan dengan cara hidup mereka sendiri. Ini adalah mekanisme birokratis untuk menolak hak sejak awal.” imbuhnya.
Akibatnya, wilayah adat dianggap ‘tanah negara’ di bawah izin korporasi. Warga adat yang mempertahankan tanah leluhur, lanjut Siregar, diperlakukan sebagai penyerobot, ilegal, bahkan dikriminalisasi.
Tuntutan LHKP Muhammadiyah: Reformasi Hukum Substantif
LHKP PW Muhammadiyah Sumut mendesak Pemerintah Pusat dan DPR RI untuk segera melakukan reformasi hukum agraria yang mendalam.
Tiga tuntutan utama yang disampaikan Shohibul Anshor Siregar adalah:
- Moratorium Izin Ekstraktif di Wilayah Sengketa: Pemerintah Pusat diminta segera menetapkan moratorium total terhadap semua izin HGU, HPH, atau IUP di wilayah-wilayah yang diklaim atau sedang disengketakan oleh masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia.
- Perubahan Paradigma Pengakuan: Mengubah model pengakuan yang diskriminatif menjadi pengakuan pro-hak. “Dasar pengakuan haruslah peta partisipatif yang dibuat komunitas adat dan legitimasi historis-sosial, bukan syarat administrasi yang diciptakan untuk menggugurkan hak,” tegasnya.
- Harmonisasi UU Sektoral: DPR dan Pemerintah wajib segera mengharmonisasi UU Sektoral (terutama UU Kehutanan dan UU Pertambangan) agar sejalan dengan UUPA dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. Hak ulayat harus ditempatkan sebagai hak prioritas yang tidak dapat dibatalkan oleh izin korporasi mana pun.
Siregar menutup dengan penekanan bahwa konflik agraria adalah masalah hak asasi manusia dan keadilan sosial fundamental. “Ini adalah ujian integritas moral dan konstitusional bagi bangsa. Kecuali negara menempatkan martabat masyarakat adat di atas profit korporasi, konflik agraria ini akan terus menjadi bom waktu nasional,” pungkas Siregar. (*)








