Oleh: M. Risfan Sihaloho
Pemred TAJDID.ID/Pengerajin Anyaman Kata di GERAM (Gerakan Rakyat Menulis)
Ada istilah baru yang kini layak kita sematkan untuk republik tercinta ini: yaitu “Jogetokrasi”. Ya, sebuah gaya pemerintahan di mana pemimpin, pejabat pemerintah, hingga wakil rakyat lebih piawai menggoyangkan pinggul daripada menggoyang otak mereka untuk mencari solusi bagi persoalan bangsa.
Fenomena berjoget ria para pejabat ini memang sedang ramai jadi tontonan publik. Di berbagai panggung acara, mulai dari festival, peresmian proyek, hingga acara resmi kenegaraan, tubuh mereka seakan kehilangan gravitasi, ikut larut dalam irama dangdut, koplo, bahkan TikTok-an. Senyum merekah, tangan terangkat, kaki berjingkrak—seolah dunia sedang baik-baik saja, seolah rakyat tak sedang memikul beban hidup yang makin menyesakkan dada.
Sayangnya, bagi sebagian besar rakyat, adegan-adegan itu bukan hiburan, tapi bak luka yang ditaburi garam. Di saat banyak orang harus antre bantuan beras, mencari kerja bagai mencari jarum di tumpukan jerami, atau pusing memikirkan harga kebutuhan pokok yang kian melambung, pejabat dan wakil mereka justru larut dalam eforia joget yang benar-benar norak dan menjijikkan.
Konon, ada yang beragumentasi bahwa berjoget itu bentuk kedekatan dengan rakyat. Lucu juga logika ini. Rakyat lapar, solusinya: pejabat joget. Rakyat mengeluh harga beras, jawaban: pejabat joget. Rakyat berteriak soal korupsi, balasannya: pejabat joget lebih kencang. Seakan-akan segala problem bangsa bisa hilang dengan antraksi koreografi dengan satu putaran tangan ke atas dan satu hentakan kaki ke bawah.
Tapi mari kita jujur: mungkin memang inilah keahlian utama yang tersisa. Merumuskan kebijakan? Sulit. Menekan inflasi? Rumit. Memberantas korupsi? Ah, itu urusan nanti. Tapi berjoget? Wah, yang satu ini jago betul! Tanpa perlu latihan panjang, langsung lentur dan kompak.
Maka jangan heran bila generasi mendatang akan mengenang era ini bukan sebagai masa pembangunan, bukan pula masa reformasi, melainkan era Jogetokrasi. Suatu zaman ketika nasib bangsa dipertaruhkan di lantai dansa, bukan di meja kerja.
Beginilah nasib menyedihkan di bawah rezim Jogetokrasi: rakyat menonton dengan perut keroncongan, pejabat bergoyang dengan dompet kekenyangan. Di bawah Jogetokrasi, rakyat cuma penonton konser pejabat dengan tiket masuk bernama pajak. (*)