TAJDID.ID~Medan || Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr Alpi Sahari SH MHum mengatakan, ratio decidendi melahirkan paradoks eksistensi institusi Polri sebagai “Polisi untuk Masyarakat” atau “Masyarakat untuk Polisi”.
“Hal ini akan menimbulkan penafsiran transformasi Polri sebagai institusi yang telah melakukan metamorfosis dari alat kekuasaan menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat menuju civilian police dan polisi yang dicintai masyarakat,” ujar Dr Alpi, Ahad (16/3).
Lebih lanjut Dr Alpi menjelaskan, di dalam pelaksanaan tugas bagi seluruh personil Polri termasuk pimpinan Polri untuk mewujudkan polisi yang dicintai masyarakat bukan persoalan yang mudah, karena terdapat beberapa tantangan bahkan ancaman dari beberapa pihak yang berkeinginan agar institusi Polri kembali sebagai alat kekuasaan dengan melakukan restrukturisasi institusi Polri melalui revisi undang-undang sebagai celah untuk melemahkan institusi Polri.
“Termasuk adanya beberapa institusi yang berkeinginan untuk memiliki kewenangan dalam penegakan hukum,” ungkapnya.
Dapat dicontohkan dalam penegakan hukum maka saat ini (setelah abad ke-18) orientasinya bukan menitikberatkan pada penghukuman, namun menitikberatkan pada perbaikan dan menjaga ketertiban serta keteraturan di tengah-tengah masyarakat.
Penghukuman merupakan prinsip dasar dari dominus litis (aliran klasik abad ke-18), sehingga sangat berbeda dengan tugas Polri dalam penegakan hukum yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat.
“Lebih tepat diistilahkan bahwa police as toll of social engineering” tegas Dr. Alpi
Lebih lanjut Dr. Alpi mengemukakan, bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan, yakni Polisi untuk masyarakat yang merah putih dengan nilai-nilai Pancasila, bukan bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan sebagai tujuan dari dominus litis dan keinginan institusi lain untuk memiliki kewenangan penegakan hukum yang tentunya menitikberatkan pada sistem inkuisitor bukan akusator.
Polisi untuk masyarakat berpegang teguh pada postulat “le salut du people est la supreme loi” yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat.
Dr Alpi menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi pondasi dasar “Polisi untuk Masyarakat”.
Pertama, dalam penegakan hukum tidak hanya mendasarkan pada legal definition of crime namun juga menggunakan natural crime.
Kedua, metode nya bukan anekdot melainkan menggunakan penelitian atas pengalaman.
Ketiga, menitikberatkan pada indeterminate sentence, bukan definite sentence.
“Untuk itu diharapkan kepada Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk tetap merawat dan menjaga indepedensi Polri yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden,” tutup Alpi. (*)